AKHIR-AKHIR ini banyak diperbincangkan di media mengenai kondisi daya beli masyarakat. Terjadinya penutupan beberapa pusat perbelanjaan dan sepinya toko-toko yang dulu ramai pembeli dianggap sebagai indikator daya beli masyarakat yang mengalami penurunan.
Sementara di sisi lain laporan keuangan beberapa perusahaan justru mengalami kenaikan pendapatan dan keuntungan. Banyak tulisan dan survei mencoba menjelaskan mengenai fenomena tersebut.
Pemerintah terus memantau berbagai indikator dan melakukan pembahasan dengan berbagai pelaku usaha dan pemangku kepentingan untuk memahami secara benar dan akurat, serta terus mencoba merespons dengan memaksakan berbagai kebijakan penguatan perekonomian dan ketahanan daya beli masyarakat.
Tingkat dan pertumbuhan konsumsi masyarakat ditentukan oleh pendapatan rumah tangga dan perubahan tingkat harga umum atau inflasi.
Daya beli masyarakat dapat dikatakan menurun bila penghasilan yang diperolehnya menurun atau sebaliknya, harga barang dan jasa yang meningkat sehingga kemampuan untuk melakukan konsumsi menurun.
Baca juga : Bahana: Kuartal II 2018 Daya Beli Diprediksi Meningkat
Data menunjukkan bahwa pendapatan riil masayarakat tidak terjadi penurunan, dalam sepuluh tahun terakhir pendapatan per kapita secara riil mengalami kenaikan dua kali lipat. Sementara itu inflasi dua tahun terakhir juga mencatat rekor sangat rendah dan stabil, yaitu di bawah 4 persen.
Jumlah warga kelas menengah terus bertambah. Bertambahnya kelas menengah dapat menyebabkan bergesernya jenis konsumsi masyarakat dari kebutuhan primer (makanan dan sandang) menjadi kebutuhan sekunder bahkan tersier (mewah).
Jumlah nominal yang dikonsumsipun akan berubah seiring dengan kesadaran masyarakat untuk menabung atau melakukan investasi. Hal ini sejalan dengan data dari Bank Indonesia bahwa dana pihak ketiga tahun ini meningkat 10 persen di kuartal kedua bila dibandingkan tahun lalu.
Secara prinsip ekonomi, tidak terjadi hal yang dapat menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat. Dari kompilasi terhadap data Susenas menunjukkan bahwa pertumbuhan konsumsi kelompok menengah dari Maret 2016 ke Maret 2017 masih di atas 6 persen, memang lebih rendah dibandingkan setahun sebelumnya yang pernah di kisaran 8 persen.
Namun kelompok masyarakat 30 persen berpenghasilan terendah, konsumsinya tumbuh lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya, yang menunjukkan keberhasilan dari kebijakan transfer pemerintah.
Secara umum, daya beli masyarakat dapat diasosiasikan dengan penerimaan PPN Dalam Negeri yang merupakan pajak atas konsumsi barang/jasa. Pada tahun 2017 penerimaan PPN Dalam Negeri tumbuh 15,32 persen atau lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 2016 yang mencapai -2,15 persen.
Beberapa sektor utama pada jenis pajak PPN Dalam Negeri tumbuh positif seperti sektor Industri Pengolahan (tumbuh 19,47 persen), Perdagangan Besar & Eceran (tumbuh 17,99 persen), dan Transportasi & Pergudangan (18,30 persen).
Sementara itu dari sisi kinerja penerimaan pajak sektoral, 2 (dua) sektor utama yang dapat diasosiasikan dengan daya beli masyarakat: Industri Pengolahandan Perdagangan Besar & Eceran, pada tahun 2017 menunjukan tren yang positif:
a. Dari sisi produksi, penerimaan pajak (seluruh jenis pajak) dari sektor Industri Pengolahan secara umum tumbuh 17,53 persen dengan pertumbuhan positif pada beberapa sub-sektor utama seperti Industri Pengolahan Tembakau (tumbuh 36,30 persen), Makanan (tumbuh10,45 persen), Minuman (27,54 persen), Kendaraan Bermotor (51,31 persen), Pakaian Jadi (19,96 persen), Komputer & Elektronik (14,49 persen).
b. Dari sisi distribusi/penjualan, penerimaan pajak (seluruh jenis pajak)sektor Perdagangan Besar & Eceran secara umum tumbuh 26,08 persen dengan pertumbuhan positif pada beberapa sub-sektor utama seperti Perdagangan Besar & Eceran Non Kendaraan Bermotor (25,67 persen) dan Perdagangan Besar Perlengkapan Rumah Tangga (23,43 persen).