Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Zulkifli Hasan
Ketua MPR RI

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional.

Urgensi Reindustrialisasi

Kompas.com - 26/04/2018, 17:28 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DEINDUSTRIALISASI sudah menjebak Indonesia sepanjang 15 tahun terakhir. Kontribusi industri manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) terus merosot, dari 28,34 persen pada 2004 menjadi 21,01 persen pada 2014, 20,99 persen (2015), 20,51 persen (2016), dan tahun lalu 20,16 persen.

Industri manufaktur adalah proses produksi via mekanisasi (menggunakan mesin) untuk mengubah bahan mentah menjadi barang jadi atau setengah jadi yang memiliki nilai jual dalam skala besar atau produksi massal.

Kelebihannya adalah industri manufaktur andalan akan mampu menyerap tenaga kerja yang besar dengan kapasitas produksi yang diutamakan untuk ekspor.

Namun, dengan sejarah industri manufaktur Indonesia yang berangkat sebagai substitusi impor, faktanya kemudian porsinya ternyata lebih besar untuk pasar domestik. Tercatat bahwa kapasitas ekspor hingga kini hanya sekitar 40 persen.

Angka tersebut lebih kecil dibanding ekspor produksi manufaktur Malaysia (62 persen), India (55 persen), serta Thailand dan Vietnam (73 persen). Masalah lain, sektor manufaktur hanya mampu menorehkan tingkat pertumbuhan  yang selalu di bawah PDB.

Lihat saja, sepanjang 2011—2017, rata-rata pertumbuhan industri manufaktur sebesar 4,82 persen, sedangkan pertumbuhan PDB rata-rata 5,39 persen.

Namun, sumbangan industri manufaktur yang seperlima PDB tersebut masih terbilang sebagai kontribusi terbesar dibanding sektor pertanian dan perdagangan yang masing-masing hanya 13 persen. Meskipun disayangkan, dalam hal penyerapan tenaga kerja, manufaktur di posisi keempat setelah pertanian, perdagangan, dan sektor jasa kemasyarakatan.

Padahal, di era 1990-an, industri manufaktur Indonesia masih berjaya dengan pertumbuhan 11 persen per tahun dan menguasai 4,6 persen industri manufaktur dunia.

Akan tetapi, kejayaan tersebut kian surut dan saat ini industri manufaktur Indonesia hanya mampu tumbuh sekitar 4-5 persen per tahun.

Secara otomatis, Indonesia sebagai negara terbesar dengan jumlah penduduk terbanyak di ASEAN belum dapat menguasai perdagangan kawasan. Indonesia hanya dijadikan pasar oleh negara tetangga, terutama dari produk-produk manufaktur. Akibatnya, neraca perdagangan Indonesia seringkali defisit.

Dengan kata lain, tantangan yang dihadapi sektor industri manufaktur sangat berat. Apabila perhatian kebijakan terhadap sektor ini tidak ditingkatkan secara massif dan signifikan, gejala deindustrialisasi yang belakangan sudah mulai berlangsung lambat laun akan semakin menjadi kenyataan.

Kekhawatiran terhadap rendahnya daya saing industri manufaktur bukan saja berdampak pada perdagangan. Lebih dari itu, pelemahan kinerja manufaktur juga berdampak pada perekonomian.

Selain itu, struktur ekonomi menjadi kian rapuh karena hanya didukung oleh perkembangan sektor yang kurang menyerap tenaga kerja formal dan cenderung menyerap pekerja informal.

Saya berpendapat, Indonesia akan sulit maju jika sektor informal terlalu besar karena produktivitas ekonomi sulit berkembang.

Jadi, pemerintah harus benar-benar fokus memikirkan langkah-langkah untuk melakukan reindustrialisasi, termasuk aneka rupa insentif, apa pun bentuknya.

Insentif akan menjadi motor yang bisa menggerakkan investasi, terutama insentif untuk sektor manufaktur yang akan menghangatkan kembali mesin-mesin sektor industri kita.

Jika tidak, peningkatan konsumsi dalam negeri, misalnya, hanya akan diisi oleh produk-produk impor yang akan mempertebal kocek negara importir sebagaimana biasanya terjadi selama ini.

Imbasnya sampai hari ini tentu sudah kita lihat dan rasakan. Dari sisi ekspor, misalnya. Meskipun ekspor Indonesia yang terbesar ditujukan ke negara-negara anggota ASEAN, total neraca perdagangan nonmigas Indonesia dengan negara-negara sekawasan ternyata selalu mencatatkan defisit. Dengan kata lain, nilai impornya jauh lebih besar.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), dalam sejarah 15 tahun (2000-2015) Indonesia pernah mencapai surplus neraca perdagangan hanya pada 2011.

Setelah itu, defisit neraca perdagangan cenderung semakin melebar dari tahun ke tahun. Dari sembilan negara anggota ASEAN, perdagangan Indonesia hanya surplus terhadap Filipina, Myanmar, Kamboja, dan Laos.

Secara keseluruhan, kinerja total ekspor Indonesia, baik migas maupun nonmigas, dalam enam tahun (2011-2016) mengalami penurunan drastis, yakni dari 203.495,6 juta dollar AS menjadi sekitar 144.433,5 juta dollar AS atau turun sebesar 29,02 persen.

Sementara itu, dalam periode yang sama, impor juga mengalami penurunan dari 177.435,6 juta dollar AS menjadi 135.650,7 juta dollar AS atau turun sebesar 23,5 persen.

Nah, penurunan laju ekspor yang lebih besar dari laju impor menyebabkan surplus neraca perdagangan Indonesia turun dari 26.061,1 juta dollar AS menjadi 8.782,8 juta dollar AS. Di sisi lain, ekspor nonmigas di periode sama turun 18,9 persen dari 162.019 juta dollar AS menjadi 131.346,5 juta dollar AS.

Adapun impor nonmigas hanya turun 14,5 persen atau turun dari 136.734 juta dollar AS menjadi 116.925,9 juta dollar AS. Akibatnya, surplus neraca perdagangan nonmigas turun dari 25.283,5 juta dollar AS pada 2011 menjadi 14.420,6 juta dollar AS pada 2016.

Data menunjukkan, tujuan ekspor nonmigas Indonesia didominasi negara-negara ASEAN, yakni mencapai 22,3 persen pada tahun 2015. Pangsa ekspor nonmigas ke negara-negara ASEAN mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2011 yang hanya mencapai 20,7 persen.

Namun, nilai ekspornya mengalami penurunan sebesar 20,2 persen atau turun dari sekitar 42.098,9 juta dollar AS (2011) menjadi 33.577 juta dollar AS (2015).

Perkembangan serupa terlihat pada dua bulan berturut-turut sejak awal tahun ini, bahkan sejak Desember 2017.

BPS mencatat, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit 670 juta dollar AS pada Januari 2018. Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan dengan sejumlah negara, antara lain China, Thailand.

Secara umum, memang ada surplus 182 juta dollar AS di sektor nonminyak dan gas (migas) pada Januari. Kendati demikian, impor pun naik sehingga tercatat defisit neraca perdagangan 670 juta dollar AS pada Januari 2018. Adapun untuk nonmigas, surplusnya tercatat 182 juta dollar AS yang kemudian terkoreksi dengan adanya defisit migas.

Sebenarnya, neraca perdagangan Indonesia sudah mengalami defisit sejak Desember 2017. Pada Desember 2017, Indonesia tercatat defisit 0,27 miliar dollar AS yang dipicu defisit sektor migas 1,04 miliar dollar AS.

Namun, ketika itu neraca perdagangan sektor nonmigas surplus 0,77 miliar dollar AS sehingga secara keseluruhan masih tercatat surplus.

Kondisi pada Februari pun masih tetap sama. BPS merilis hasil neraca perdagangan per Februari 2018 yang mengalami defisit sebesar 0,12 miliar dollar AS.

Melalui hasil ini, neraca perdagangan Indonesia sudah tiga kali mengalami defisit secara berturut-turut sejak akhir tahun 2017.

Risiko pahit lainnya, kondisi neraca perdagangan seperti itu membuat Indonesia mencatatkan net international investment position  negatif lebih dari 400 miliar dollar AS alias mempunyai net external liabilities atau benar-benar negara dengan neraca sebagai negara debitor.

Apa artinya? Artinya, jika ekspor kian melemah, terutama dari produk-produk industri manufaktur, kapasitas bayar utang Indonesia akan semakin melemah.

Hal itu terjadi mengingat di satu sisi tax ratio Indonesia sangat rendah dan sulit bertumbuh. Di sisi lain, kekuatan ekspor international Indonesia pun kurang menjanjikan dan semakin keropos (akibat deindustrialisasi).

Walhasil, kesempatan untuk mendapatkan devisa berlipat kian menjauh. Oleh karena itu, mengapa banyak pihak berpendapat bahwa utang Indonesia berada di atas fondasi ekonomi yang semakin keropos.

Untuk itu, tidak bisa tidak, pemerintah harus melakukan langkah-langkah yang sangat strategis untuk membangun ulang sektor industri kita (reindustrialisasi).

Pemerintah juga secara perlahan perlu membenahi kualitas pertumbuhan ekonomi nasional agar bisa dinikmati secara adil dan merasa oleh masyarakat, pun bisa membawa Indonesia semakin berdaya saing di kancah internasional. Semoga.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com