Sampai saat ini belum ada payung hukum yang cukup terkait implementasi ESOP di Indonesia. Draf yang dirumuskan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tentang Program Kepemilikan Saham oleh Karyawan Perusahaan Terbuka belum juga final sejak tahun 2013.
Boleh jadi pemerintah paham betul bahwa ESOP adalah jalan terjal yang langsung akan bersinggungan dengan kepentingan investor.
Namun, paket insentif ekonomi bisa menjadi kompensasi untuk mereka, misalnya pengurangan pajak atau tax holiday bagi perusahaan yang sudah ESOP, serta insentif-insentif lainnya.
Hal itu cukup beralasan karena perusahaan yang sudah ESOP berarti telah lakukan redistribusi nilai lebihnya.
Demokrasi ekonomi
Dalam ruang diskusi mayanya, London School of Economics and Political Science (LSE), Maret 2018 lalu mengangkat soal demokrasi ekonomi dan ketimpangan.
Profesor Andrew Cumbers menjelaskan tentang Economic Democracy Index (EDI) dan hubungannya dengan ketimpangan.
Ia merilis data EDI per 2018 yang menempatkan Swedia, Denmark, Islandia, Austria, Finlandia, dan lainnya sebagai negara dengan indeks demokrasi ekonomi tinggi dengan nilai mendekati 0,7 poin.
Indeks itu tersusun atas empat komponen utama. Pertama, demokrasi di tempat kerja dan hak karyawan. Kedua, derajat demokrasi ekonomi (termasuk di dalamnya kepemilikan kolektif atas perusahaan).
Ketiga, distribusi pengambilan keputusan ekonomi. Dan keempat, transparansi dan partisipasi pengambilan keputusan makro ekonomi.
Dalam tulisannya, Cumbers menunjukkan korelasi antara tingginya EDI suatu negara dan rendahnya Rasio Gini mereka. Negara-negara dengan skor EDI mendekati atau di atas 0,7 poin, Rasio Gini-nya di angka 0,2 sampai 0,3 poin.
Dalam argumennya, Cumbers mengatakan bahwa hal itu bukan karena sedikitnya penduduk, yang rata-rata 20 jutaan orang, melainkan karena arsitektur kelembagaan serta kerangka tata kelola yang baik.
Artinya bahwa diktum keadilan sosial dalam kerangka demokrasi ekonomi perlu disokong dengan tata kelembagaan dan tata kelola yang tepat. Bila tidak, selamanya hanya menjadi diskursus para elite. Dan, rekayasa semacam itu hanya mungkin melalui kebijakan atau peraturan hukum tertentu.
Di Indonesia, indeks yang mirip pernah disusun oleh Awan Santosa, akademisi Universitas Gajah Mada (UGM). Bersama timnya, Santosa membuat Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia (IDEI) sejak 2009.
Tentu akan berjalan dengan baik bila pemerintah mengadopsi IDEI tersebut sebagai salah satu indikator pembangunan menggenapi Pendapatan Domestik Bruto (PDB), Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indeks Persepsi Korupsi (IPK), dan indeks lainnya.