Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Etatisme Pembangunan Infrastruktur Era Jokowi, BUMN Untung atau Rugi?

Kompas.com - 18/05/2018, 08:03 WIB
Ridwan Aji Pitoko,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Tak dapat dimungkiri, bahwa selama kepemimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla, pemerintah terus membangun infrastruktur di seluruh pelosok negeri.

Pemerataan dan penghilangan kesenjangan ekonomi antar-daerah menjadi dua alasan mendasar pelaksanaan pembangunan infrastruktur yang begitu masif sejak 2014 sampai sekarang.

Namun, bagaikan dua sisi mata uang, upaya pemerintah tersebut masih dirasa belum cukup lantaran masih terlalu mengandalkan kontraktor Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk menggarap proyek-proyek infrastruktur dengan nilai besar.

Beberapa BUMN karya seperti Waskita Karya, Adhi Karya, Wijaya Karya, Nindya Karya, Pembangunan Perumahan (PP) dan banyak lainnya telah mendapatkan penugasan untuk membangun infrastruktur mulai dari jalan tol hingga perumahan.

Penugasan itu yang kemudian disoroti karena berpeluang menciptakan etatisme.

Baca: Konsep Infrastruktur di Era Pak Jokowi Bentuk Etatisme..."

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), etatisme diartikan sebagai suatu paham dalam pemikiran politik yang menjadikan negara sebagai pusat segala kekuasaan.

"Sekarang konsep infrastruktur di era Pak Jokowi sebagai bentuk etatisme atau semua ingin dikerjakan BUMN, semua pendanaan dari BUMN, APBN terutama juga masuk ke dalam kontaktor- kontraktor BUMN," kata Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira sebagai bentuk etatisme.

Bhima menambahkan, etatisme tersebut kemudian membuat BUMN terkesan ugal-ugalan dalam membangun infrastruktur. Hal itu terlihat dari banyaknya kecelakaan konstruksi pada infrastruktur yang dibangun oleh BUMN.

Selain itu, dominasi BUMN tersebut mengikis kesempatan kontraktor swasta untuk bisa terlibat dalam pembangunan infrastruktur.

"BUMN harusnya urusi sektor-sektor yang strategis, tetapi selain itu juga harus membagi kuenya dengan swasta biar swastanya juga hidup karena ekonomi masyarakat juga ada di swasta-swasta," terang Bima.

Berdasarkan catatan Gapensi sebanyak 37.000 kontraktor swasta hilang dalam tiga tahun terakhir.

"Itu bukan angka yang sedikit. Itu terjadi karena swasta enggak kebagian kue pembangunan infrastruktur," imbuh Bhima.

Pendapat sama pun diutarakan Ketua Komisi V DPR Fary Djemi Francis. Menurut dia, apa yang terjadi saat ini adalah pemerintah secara sengaja membagi kue pembangunan infrastruktur tidak merata antara BUMN dan swasta.

Saat ini terlalu banyak proyek strategis nasional yang dicanangkan pemerintah digarap oleh BUMN.

"Para pengusaha di daerah menurun. Memang ada sub-kontraktor, tapi pembayarannya susah," sebut Fary.

Politisi Partai Gerindra itu menambahkan, tujuan utama pemerintah mempercepat pembangunan infrastruktur adalah untuk mendorong pertumbuhan perekonomian nasional guna menunjang peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Namun, menurut dia, dalam tiga tahun terakhir justru pertumbuhan ekonomi nasional terkesan stagnan.

"Kalau lihat pembangunan infrastruktr di daerah yang banyak dibangun, infrastruktur itu stagnan juga. Betul untuk rakyat, tetapi manfaat dari pada yang dibangun itu memberikan dampak ekonomi atau tidak," sambungnya.

Ia menilai, masifnya pembangunan infrastruktur lebih banyak bermanfaat bagi Joko Widodo bila ingin mencalonkan diri kembali sebagai presiden pada Pilpres 2019 mendatang.

Hal itu terlihat dari target penyelesaian pembangunan infrastruktur yang didorong untuk selesai pada medio 2018-2019.

Menjadi beban bagi BUMN

Banyaknya penugasan pembangunan infrastruktur ke BUMN juga pada dasarnya menjadi beban tersendiri buat mereka. Bhima tak salah jika mengatakan bahwa etatisme yang terjadi membuat BUMN jadi ugal-ugalan dalam pembangun infrastruktur.

Eks Direktur Utama Waskita Karya M Choliq pernah mengatakan, beban kerja berat menjadi penyebab utama maraknya kasus kecelakaan kerja yang terjadi pada proyek konstruksi yang digarap oleh Waskita Karya.

Baca: Pembangunan Infrastruktur oleh Pemerintah Dinilai Masih Minim Dampak

"Ya tadi sudah saya singgung sedikit, karena produksinya itu memang banyak,” ungkap Choliq, April silam.

Kasus kecelakaan konstruksi yang paling banyak terjadi yakni pada pekerjaan girder. Baik itu yang jatuh saat diangkat maupun terguling ketika girderitu telah diletakkan pada sebuah struktur.

Choliq pun memberikan gambaran atas beratnya beban kerja Waskita pada tahun lalu. Sebagai gambaran, lebih dari 11.000 buah girder yang telah dipasang Waskita sepanjang 2017.

“Coba tanyakan ke kontraktor lain, saya yakin tidak ada yang memasang lebih dari 100. Bandingkan dengan Waskita yang 11.000. Bukan maksud membela (diri) ya,” sambung dia.

Nilai proyek yang bertambah besar tiap tahunnya juga turut menjadi beban bagi Waskita Karya. Choliq bercerita, nilai proyek yang dibangun Waskita Karya saat ini lebih tinggi bila dibandingkan dua atau tiga tahun yang lalu.

Saat itu, nilai proyek yang diperoleh Waskita Karya dalam setahun sekitar Rp 10 triliun sampai Rp 15 triliun. Namun, pada 2017 angka itu melonjak sampai Rp 45 triliun.

Oleh karenanya, terkait hal tersebut, mantan Menko bidang Kemaritiman Rizal Ramli meminta agar jangan semua proyek strategis nasional digarap oleh BUMN. Pemerintah perlu memberikan kepercayaan kepada pengusaha muda dan daerah untuk belajar bisnis.

"Karena kalau mereka mulai dari pekerjaan pemerintah, pembayarannya pasti jadi. Saya mohon maaf, kalau (pekerjaan) dari swasta, termasuk swasta besar, paling baru tiga tahun kemudian dibayar (setelah jadi)," beber Rizal.

Rizal mengaku, walaupun terlambat namun pemerintah masih memiliki kesempatan untuk memberikan peluang bagi pengusaha muda atau kontraktor menengah dan kecil untuk menggarap proyek strategis nasional.

"Nah, pengusaha jangan cengeng. Saya biasa gunakan istilah bumi putera (untuk pengusaha). Bumi putera harus jadi pengusaha yang tangguh. Jangan pinjaman dijadikan pendapatan. Nggak maju-maju kalau pengusaha bumi putera kalau gitu," tutup dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com