Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
William Henley
Pendiri Indosterling Capital

Pendiri Indosterling Capital

Ekonomi Indonesia Melawan Terorisme

Kompas.com - 18/05/2018, 15:08 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Latief

Begitu juga pada terorisme berikut, yaitu Bom Thamrin, Bom Solo, dan Bom Surabaya. Semua itu menunjukkan pasar saham relatif aman.

Seperti dijelaskan pada awal tulisan, alasan investor tetap mau berinvestasi di Indonesia adalah penilaian mereka terhadap respons pemerintah. Salah satu aspek yang terlihat adalah kesigapan aparat keamanan menyikapi teror-teror tersebut. 

Faktor lain tidak kalah penting adalah pertumbuhan ekonomi Indonesia yang stabil di kisaran lima persen, inflasi yang terjaga, defisit APBN dalam kondisi aman, dan indikator-indikator makro ekonomi lainnya.

Harus dicermati

Terlepas dari data dan fakta di atas, terorisme dan pengaruh terhadap ekonomi Indonesia tetap harus dicermati. Selain penguatan dari sisi keamanan dalam negeri, upaya-upaya multilateral dengan berbagai negara di kawasan ASEAN, Asia, dan dunia, perlu diperkuat.

Poin penting lain tertuang dalam penelitian Bandyopadhyay dan Younas. Menurut mereka, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) maupun Bank Dunia harus membantu negara-negara berkembang yang mengalami serangan terorisme. Bentuk bantuan ditekankan pada mitigasi biaya-biaya terkait terorisme.

Sementara untuk pemerintah dan stake holder lainnya, waspadai data neraca perdagangan. BPS baru-baru ini melaporkan bahwa neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit 1,63 miliar dolar AS (selisih ekspor 14,47 miliar dolar AS dan impor 16,09 miliar dolar AS).

Defisit itu merupakan yang tertinggi sejak April 2014. Mau tak mau, defisit neraca perdagangan bakal mengganggu neraca transaksi berjalan. Neraca yang disebut belakangan ini merupakan indikator utama para investor menilai perekonomian suatu negara.

Defisit transaksi berjalan tercatat 5,5 miliar dolar AS atau 2,1 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada kuartal I-2018. Dengan memperhitungkan neraca perdagangan April dan juga Mei serta Juni, ada potensi pelebaran defisit transaksi berjalan.

Permasalahan ini tentu perlu diwaspadai oleh semua pihak. Pasalnya, ujung-ujungnya nanti nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terdampak.

Muara dari semua itu adalah penurunan konsumsi yang berdampak pada penurunan pertumbuhan ekonomi. Tentu saja, hal tersebut sama sekali tidak kita inginkan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com