KOMPAS.com - Teror demi teror terus menghantam bumi pertiwi yang kita cintai, Indonesia. Sejak insiden Markas Komando Korps Brigade Mobil Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, yang berakhir pada Kamis 10 Mei 2018, aksi teror oleh teroris terafiliasi dengan ISIS masih berlangsung.
Satu demi satu aksi itu dilakukan, mulai pengeboman tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur, Minggu (13/5/2018) pagi, ledakan bom di rumah susun Wonocolo, Sidoarjo, Jawa Timur, pada malam harinya, serta pengemboman Markas Polrestabes Surabaya, Senin (14/5/2018).
Di luar dugaan, aksi teror dalam bentuk serupa terjadi di Mapolda Riau, berupa penyerangan terhadap petugas kepolisian. Ini insiden yang terakhir.
Puluhan orang menjadi korban tewas dan luka-luka akibat rentetan peristiwa tersebut. Presiden Joko Widodo pun memerintahkan agar Polri dibantu TNI bersama-sama memberantas terorisme. Polri kemudian menggencarkan razia untuk mendeteksi keberadaan para teroris.
Dari sisi ekonomi, para pemangku kebijakan, seperti Direktur Utama Bursa Efek Indonesia Tito Sulistio, Menteri Keuangan Sri Mulyani, hingga sejumlah pengamat ekonomi, meyakinkan pasar tidak terganggu. Aparat keamanan yang sigap menyikapi terorisme demi terorisme menjadi alasan di balik optimisme mereka.
Lalu, bagaimana pengaruh terorisme terhadap perekonomian Indonesia ke depan? Langkah-langkah apa yang harus dilakukan para pemangku kepentingan demi menjamin kelangsungan kegiatan ekonomi?
Kekerasan
Terorisme merupakan penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan, terutama tujuan politik. Dalam kurun waktu satu dekade belakangan, ada perubahan dalam aksi teror global, khususnya oleh Islam radikal. Jika sebelumnya Al-Qaeda di bawah pimpinan Osama bin Laden yang menojol, maka sejak beberapa tahun terakhir giliran ISIS yang mencuat.
Apapun organisasinya, terorisme hanya melahirkan kerugian bagi banyak pihak. Masyarakat dan negara jadi korban, mulai kehilangan nyawa hingga gangguan perekonomian.
Ada banyak kajian terkait pengaruh terorisme terhadap perekonomian, terutama di negara berkembang. Penelitian terbaru disampaikan peneliti di Bank Sentral Amerika Serikat Negara Bagian St. Louis AS Subhayu Bandyopadhyay dan guru besar ekonomi di American University of Sharjah Uni Emirates Arab Javed Younas.
Penelitian mereka berawal dari pertanyaan sederhana. Apakah terorisme dapat mengganggu ekonomi negara berkembang dari sisi pertumbuhan ekonomi, kemampuan menarik investasi asing, dan arus perdagangan?
Pada hasil penelitian mereka terhadap 12 negara yang menderita terorisme sepanjang 2001-2012, Bandyopadhyay dan Younas menyimpulkan terorisme dapat menciptakan kerentanan di negara yang menjadi target serangan teroris. Hal itu dapat menyebabkan dampak ekonomi lebih luas.
Kerentanan, tulis kedua peneliti, sangat merusak perdagangan maupun investasi asing langsung atau dikenal dengan sebutan foreign direct investment (FDI). Semua itu karena banyak negara asing memiliki pilihan berinvestasi dan berbisnis di negara-negara yang minim terorisme.
Di Indonesia terorisme tidak selalu berdampak negatif terhadap sejumlah indikator perekonomian. Ambil contoh nilai Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang begitu rentan terhadap sentimen negatif maupun positif investor asing dan dalam negeri.
Setelah peristiwa Bom Bali I dan Bom Bali II, pembukaan perdagangan, IHSG memang dibuka melemah selepas kabar aksi teror mengemuka. Namun, dalam penutupan perdagangan, IHSG ditutup melemah tipis, bahkan menguat.
Begitu juga pada terorisme berikut, yaitu Bom Thamrin, Bom Solo, dan Bom Surabaya. Semua itu menunjukkan pasar saham relatif aman.
Seperti dijelaskan pada awal tulisan, alasan investor tetap mau berinvestasi di Indonesia adalah penilaian mereka terhadap respons pemerintah. Salah satu aspek yang terlihat adalah kesigapan aparat keamanan menyikapi teror-teror tersebut.
Faktor lain tidak kalah penting adalah pertumbuhan ekonomi Indonesia yang stabil di kisaran lima persen, inflasi yang terjaga, defisit APBN dalam kondisi aman, dan indikator-indikator makro ekonomi lainnya.
Terlepas dari data dan fakta di atas, terorisme dan pengaruh terhadap ekonomi Indonesia tetap harus dicermati. Selain penguatan dari sisi keamanan dalam negeri, upaya-upaya multilateral dengan berbagai negara di kawasan ASEAN, Asia, dan dunia, perlu diperkuat.
Poin penting lain tertuang dalam penelitian Bandyopadhyay dan Younas. Menurut mereka, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) maupun Bank Dunia harus membantu negara-negara berkembang yang mengalami serangan terorisme. Bentuk bantuan ditekankan pada mitigasi biaya-biaya terkait terorisme.
Sementara untuk pemerintah dan stake holder lainnya, waspadai data neraca perdagangan. BPS baru-baru ini melaporkan bahwa neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit 1,63 miliar dolar AS (selisih ekspor 14,47 miliar dolar AS dan impor 16,09 miliar dolar AS).
Defisit itu merupakan yang tertinggi sejak April 2014. Mau tak mau, defisit neraca perdagangan bakal mengganggu neraca transaksi berjalan. Neraca yang disebut belakangan ini merupakan indikator utama para investor menilai perekonomian suatu negara.
Defisit transaksi berjalan tercatat 5,5 miliar dolar AS atau 2,1 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada kuartal I-2018. Dengan memperhitungkan neraca perdagangan April dan juga Mei serta Juni, ada potensi pelebaran defisit transaksi berjalan.
Permasalahan ini tentu perlu diwaspadai oleh semua pihak. Pasalnya, ujung-ujungnya nanti nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terdampak.
Muara dari semua itu adalah penurunan konsumsi yang berdampak pada penurunan pertumbuhan ekonomi. Tentu saja, hal tersebut sama sekali tidak kita inginkan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.