Aksi teror mengguncang tiga gereja di Surabaya beberapa hari sebelum Ramadhan. Tak ada kata lain yang patut diungkapkan, selain mengutuk aksi tersebut.
Bagaimanapun, aksi teror tidak dibenarkan oleh agama manapun. Tak ada ajaran agama yang memerintahkan agar manusia melakukan tindakan kekerasan kepada manusia lainnya.
Tak hanya membuat saudara-saudara kita yang tengah beribadah di tiga gereja di Surabaya menjadi korban. Teror tersebut juga sangat mengganggu masyarakat muslim yang saat itu tengah mempersiapkan datangnya Ramadhan.
Ramadhan, sebuah bulan yang hanya datang sekali dalam setahun, yang diharapkan bisa menjadi momen untuk berefleksi dan menjauhi segala tindakan tercela.
Namun, kedamaian itu kemudian terkoyak oleh aksi bom. Di mana, pelakunya adalah kelompok-kelompok kecil teroris yang secara struktural tak terkait langsung dengan ISIS.
”Do-It-Yourself Terrorism” adalah potret praktik teror masa kini yang amat cair, lentur, dan lincah. Kapan saja, di mana saja, oleh siapa saja. (Harian Kompas, 14/5/2018)
Terus terang, munculnya organisasi teroris kecil-kecilan namun mematikan, mengingatkan saya pada fenomena yang kurang lebih sama di dunia korporasi.
Para pelaku usaha skala kecil yang belakangan ini bermunculan, menggeser peran korporasi besar yang sebelumnya berjaya. Istilah kekiniannya adalah disruption.
Kemudian terlepas dari isu terorisme, saya juga teringat dengan sejumlah diskusi yang menyebutkan bahwa trend masyarakat saat ini adalah semakin relijius dan giat mencari makna spiritual di tengah kehidupan yang materialistik dan individualistik.
Alih-alih bergerak “ke kiri”, orientas ideologi masyarakat dewasa ini justru bergerak “ke kanan” seiring dengan makin melajunya modernitas.
Disrupsi korporasi dan organisasi
Berbicara mengenai disrupsi di ranah korporasi dan organisasi, ada banyak contoh yang menunjukkan bagaimana perusahaan maupun organisasi besar akhirnya kalah dan menjadi tidak relevan saat berhadapan dengan pemain-pemain baru yang lebih mampu menjawab tantangan zaman.
Di sektor transportasi, kita bisa melihat banyak perusahaan transportasi konvensional yang kelimpungan menghadapi para pemain perorangan yang hanya memiliki satu kendaraan. Para pemain perorangan ini kemudian bergabung menjadi mitra perusahaan penyedia aplikasi online.
Di sektor ritel, kita juga bisa mencermati kondisi para pelaku usaha ini tengah menghadapi masa-masa suram saat pelapak kecil online menjamur di berbagai platform digital. Pelapak-pelapak kecil itu mampu melakukan engagement dengan pelanggan secara lebih intim.
Mereka yang berhasil menguasai pasar adalah pelaku-pelaku usaha yang lincah dan memiliki ketangkasan strategi. Mereka memiliki agility, sehingga memiliki peluang lebih besar memenangkan persaingan dan menguasai pasar.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.