JAKARTA, KOMPAS.com—Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulanan tambahan Bank Indonesia (BI) pada Rabu (30/5/2018) memutuskan menaikkan lagi suku bunga BI 7 Days Reverse Repo Rate sebesar 25 bps menjadi 4,75 persen. Namun, kenaikan ini disebut tak berarti membuat pertumbuhan ekonomi terdampak apalagi turun atau melambat.
"Kenaikan suku bunga ini jangan selalu serta merta diartikan pertumbuhan ekonomi akan langsung turun (sebagai imbasnya). Berkali-kali kami sampaikan transimisinya panjang (untuk suku bunga acuan berdampak pada pertumbuhan ekonomi, baik atau buruk), rata-rata setengah tahun," ujar Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, dalam konferensi pers, Rabu.
Sebelumnya sejumlah kalangan berpendapat BI perlu menaikkan lagi suku bunga acuan untuk menahan laju tren pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Namun, sejumlah kalangan pun berpendapat langkah moneter tersebut dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Baca juga: Sri Mulyani: 2019, Pertumbuhan Ekonomi 5,4-5,8 Persen, Kurs Rupiah Rp 13.700-Rp 14.000
Jika dirinci, transmisi dampak kenaikan suku bunga kebijakan harus melalui suku bunga pasar keuangan antarbank, suku bunga deposito, suku bunga kredit, baru kemudian akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.
"Kondisi likuiditas pasar keuangan juga berpengaruh. Jika likuiditas semakin longgar, maka (kenaikan suku bunga acuan) dampaknya semakin kecil. Sementara jika likuiditas ketat, dampaknya dapat segera dirasakan," ujarnya.
Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara menambahkan, kondisi Indonesia saat ini berbeda dengan masa-masa taper tantrum pada 2013 lalu.
Baca juga: Menyimak Strategi Pemerintah Hadapi Tantangan Ekonomi Global
"Saat taper tantrum memang tightening yang dilakukan cukup signifikan, pemerintah juga melakukan penyesuaian terhadap harga BBM sehingga inflasi cukup tinggi, sehingga BI perlu lakukan adjustment cukup signfikan," ujar Mirza dalam kesempatan yang sama.
Saat ini, menurut dia Indonesia berada pada tahap pemulihan ekonomi. Karena itu, BI melakukan berbagai langkah penyesuaian untuk merespons kondisi eksternal yang saat ini dampaknya paling kentara terlihat pada nilai tukar rupiah.
"FFR akan naik dan masih naik terus sampai akhir 2019, ada juga risiko US Treasury yield mungkin masih naik lagi sekarang. Bisa saja kalau defisit AS output-nya meningkat jadi yield naik di atas 3 persen, ini yang buat capital outflow terjadi di Indonesia, sehingga kita harus lakukan respons," papar Mirza.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.