Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Aset First Travel Dirampas Negara, Korban Terancam Gigit Jari

Kompas.com - 04/06/2018, 08:08 WIB
Erlangga Djumena

Editor

Sumber

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengadilan Negeri Depok tak hanya memberi hukuman berat bagi ketiga bos PT First Anugerah Karya Wisata alias First Travel. Aset-aset yang disita oleh Kejaksaan atas kasus ini akhirnya diputuskan dirampas menjadi milik negara, dan hasilnya akan masuk kas negara.

Konteks macam ini sejatinya bukan pertama kali, sebab dalam kasus kepailitan Koperasi Simpan Pinjam Mandiri Pandawa Grup hal serupa juga terjadi, yang mana aset-aset Pandawa dan bosnya, Nuryanto juga dirampas negara.

Sayangnya, keputusan untuk merampas aset-aset tersebut sebenarnya turut menghambat proses perdata niaga yang tengah dijalani baik First Travel maupun Pandawa.

Proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) First Travel baru rampung dengan diputuskan berdamai atau homologasi, sementara Pandawa kini tengah mengalami proses kepailitan. Keduanya merupakan proses perdata niaga.

Baca juga: First Travel di Ambang Pailit

Untuk First Travel, perkara pidana yang menjerat ketiga bosnya terdaftar di Pengadilan Negeri Depok dengan nomor perkara 83/Pid.B/2018/PN.Dpk untuk terdakwa Andika Surachman dan Annisa Hasibuan, dan 83/Pid.B/2018/PN.Dpk untuk terdakwa Kiki Hasibuan.

Sementara perkara niaganya terdaftar di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan nomor perkara 105/Pdt.Sus-PKPU/2017/PN Jkt.Pst.

Sementara kasus Pandawa perkara pidananya terdaftar di Pengadilan Negeri Depok dengan nomor 424/Pid.Sus/2017/PN.Dpk hingga 429/Pid.Sus/2017/PN.Dpk. sementara perkara niaganya merupakan hasil dari pembatalan homologasi dari perkara 37/Pdt.Sus-PKPU/2017/PN Jkt.Pst.

Salah satu pengurus PKPU First Travel Sexio Noor Sidqi menyatakan, diperlukan sinkronisasi atas dua jenis perkara ini.

"Perlu dicari titik temunya kalau memang ketentuan hukum acara atau material belum ketemu. Perlu ada pembicaraan, setidaknya para stakeholder, penegak hukum, polisi, kejaksaan, kurator, pengadilan, kemkumham," sebutnya kepada Kontan pekan lalu.

Baca juga: Kuasa Hukum Pastikan Bos First Travel Ajukan Banding

Sexio menambahkan, tanpa koordinasi, para kreditor tak akan menerima apapun. Pun ia menilai adanya keterdesakan atas sinkronisasi atas dua perkara ini, lantaran dasar perampasan aset yang kerap menggunakan UU Tindak Pidana Pencucian Uang.

"TPPU memang banyak di kasus korupsi, tapi ternyata bukan cuma itu, ada investasi, pengumpulan dana masyarakat dan lainnya. Kalau begini kan tidak ada kerugian yang diderita negara. Jadi jika aset dirampas yang paling rugi adalah kreditor," katanya.

Perampasan aset First Travel sendiri berasal dari sekitar 820 barang bukti yang dikumpulkan penyidik. Sementara yang dirampas ada sekitar 529 barang bukti, misalnya berupa rumah mewah, apartemen, kantor, mobil, gaun mewah, rekening. Yang nilainya ditaksir sekitar Rp 25 miliar.

Sementara secara total dalam proses PKPU ada 63.000 jemaah yang terdaftar dengan nilai tagihan mencapai Rp 1,1 triliun.

Masalah lebih pelik, justru dialami dalam kasus Pandawa. Sebab perampasan aset justru bertentangan dengan proses kapailitan yang tengah dialaminya. Sebab melalui UU Kepailitan dan PKPU, kurator yang berhak membereskan aset.

Baca juga: Dua Bos First Travel Divonis 20 Tahun dan 18 Tahun Penjara

Kejaksaan Negeri Depok sendiri telah merampas 65 unit mobil, 28 unit motor, 87 unit properti berbentuk lahan, rumah, apartemen, sertifikat-sertifkat, hingga akta jual beli, 65 unit barang elektronik, 23 buah perhiasan dan logam mulia, uang senilai Rp 1,39 miliar, 3.050 ringgit Malaysia, 1.550 dollar Singapura, 877 riyal Arab Saudi, ditambah dua polis asuransi.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Sumber
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com