Dalam hal ini, 30 persen adalah ekuitas dari perusahaan yang terlibat. Kemudian 70 persen adalah dana dari eksternal, entah itu melalui pinjaman bank maupun pinjam ke pasar lewat penerbitan surat utang.
Di sini yang menarik. Bank dalam menyalurkan kredit ke jalan tol akan mengandalkan dana pihak ketiga (DPK). Dana tersebut milik nasabah yang disimpan dalam bentuk tabungan, giro, maupun deposito.
Tak peduli nasabah itu pendukung pemerintah (“cebong”) maupun pendukung kelompok yang berseberangan atau biasa dijuluki “kampret”. Yang jelas bank akan menyalurkan dana tersebut kepada perusahaan yang memerlukan pembiayaan.
Tidak mungkin bank memilah dan memilih dana yang dialokasikan ke proyek jalan tol hanya dari nasabah kelompok “cebong”. Sementara duit dari kelompok “kampret” disisihkan untuk dialokasikan ke kredit sektor lain.
Sebaliknya, seorang “kampret” juga tak bisa mengajukan request agar duitnya yang disimpan di bank tidak disalurkan ke jalan tol. Sebaliknya, kelompok “cebong” tak bisa minta ke bank agar dananya disalurkan ke proyek tersebut. Semuanya merupakan otoritas bank.
Bank, bagaimanapun, memiliki sejumlah prinsip yang sama sekali tak berkaitan dengan afiliasi politik.
Prinsip-prinsip yang dimaksud adalah prinsip kepercayaan, prinsip kehati-hatian, prinsip kerahasiaan, dan prinsip mengenal nasabah.
Prinsip kepercayaan yakni bank berusaha menjaga kepercayaan masyarakat agar dana tetap disimpan di institusinya. Caranya, bank perlu menjaga kesehatan perusahaannya.
Adapun prinsip kehati-hatian mengacu pada upaya penyaluran dana oleh bank kepada debitur harus sangat berhati-hati. Tujuannya sama, agar kesehatan bank tetap terjaga dan kredit yang disalurkan tidak macet.
Sementara itu prinsip kerahasiaan lebih mengacu kebijakan bank merahasiakan data nasabah penyimpan dan simpanannya.
Terakhir, prinsip mengenal nasabah. Bank selalu mengulik identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk melaporkan setiap transaksi yang mencurigakan. Namun dalam hal ini, bank tak akan menanyakan apakah nasabah itu terafiliasi dengan “cebong” ataukah “kampret”.
Ketika duit nasabah sudah masuk ke bank, duit tersebut bercampur dengan nasabah lainnya. Demikian juga saat dana tersebut disalurkan untuk pembiayaan jalan tol. Duit “cebong” serta dana milik “kampret” akan berbaur.
Sampai di sini seharusnya sudah mulai paham bahwa jalan tol terbangun karena peran dari para “cebong” dan “kampret” yang disimpan di bank.
Di bawah naungan bank, nasabah “cebong” dan “kampret” adalah bersaudara, senasib, dan sepenanggungan. Jika jalan tol yang dibangun sukses dan dilalui banyak pengendara mobil, duit “cebong” dan “kampret” akan baik-baik saja. Demikian pula sebaliknya.