Pada kesempatan KTT ASEAN di Myanmar, Presiden Jokowi menyampaikan visi besar Indonesia untuk menjadi Poros Maritim Dunia dengan lima pilar di dalamnya, yaitu identitas maritim, sumber daya maritim, infrastruktur maritim, diplomasi maritim, dan keamanan maritime.
Visi Poros Maritim Dunia ini dinilai sangat tepat karena mengembalikan kodrat Indonesia sebagai negara yang berada di titik tumpu dua Samudera besar dunia, Pasifik dan Hindia.
Isu keamanan maritim sendiri memang telah menjadi suatu buzzword tersendiri di abad ke-21 ini. Hal ini terjadi karena laut telah menjadi komponen vital dari perdagangan global yang turut berperan dalam pertumbuhan ekonomi negara-negara di dunia.
Kini sekitar dua per tiga dari total perdagangan minyak dunia dengan nilai lebih dari 5,4 triliun dollar AS melewati Selat Malaka menuju Laut Tiongkok Selatan.
Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa hampir seluruh ekonomi dunia memiliki kepentingan untuk menjaga keamanan pelayaran di jalur perdagangan laut ini.
Perhatian dan tentunya koordinasi yang baik antarnegara, khususnya di kawasan Indo-Pasifik, menjadi demikian penting dalam menjaga stabilitas di jalur perdagagan laut ini.
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang dilewati tiga jalur perdagangan laut dunia dan beberapa choke points, yakni Selat Malaka, Selat Sunda, dan Selat Lombok, tentunya juga memiliki kepentingan yang demikian besar untuk menjaga keamanan maritim dunia.
Sayangnya, isu keamanan maritim ini masih belum termasuk ke dalam isu prioritas yang akan diangkat Indonesia di DK PBB. Bahkan dalam aide memoir Indonesia di DK PBB, tidak ada satu pun kata maritim disebut di dalamnya.
Hal ini menjadi sebuah paradoks sebab sebelumnya Presiden Jokowi sangat menekankan visi Poros Maritim Dunia. Namun, tampaknya diplomasi Indonesia kembali terjebak ke dalam "sea-blindness".
Advokasi isu keamanan maritim di DK PBB
Dalam kaitan ini, masih belum terlambat bagi Indonesia untuk mulai mengalibrasikan isu keamanan maritim masuk di dalam isu prioritas yang akan diangkat di DK PBB. Sebagai sebuah negara kepulauan besar, Indonesia tentunya memiliki kredensial untuk mengadvokasi isu ini di PBB.
Setidaknya ada tiga isu keamanan maritim yang dapat menjadi perhatian Indonesia untuk diadvokasi di DK PBB. Pertama, Indonesia memiliki posisi tawar sangat kuat untuk mengangkat isu bersama dalam penanggulangan ancaman keamanan maritim non-tradisional, seperti pembajakan (piracy), illegal fishing, dan penyelundupan manusia.
Dari isu-isu ini, pembajakan menjadi suatu tren ancaman yang meningkat di kawasan Asia Tenggara. Meski kini ancaman pembajakan secara global menurun (dari 303 kejadian pada 2015 menjadi 221 pada 2016), kawasan Asia Tenggara telah menjadi hotbed baru bagi ancaman pembajakan ini.
Sebanyak 68 pembajakan telah terjadi di Laut China Selatan dan 16 kasus perampokan kapal dan penculikan terjadi di Laut Sulu-Sulawesi di tahun 2016.
Karakteristik ancaman pembajakan di kawasan Asia Tenggara pun dinilai berbeda dari yang umumnya terjadi di Somalia. Pembajakan di Asia Tenggara dilakukan lebih terorganisasi dan dengan tujuan membajak kapal-kapal pengangkut minyak untuk dijual di pasar gelap.