Dalam hal ini, tentunya perlu pendekatan baru dalam menangani isu pembajakan, seperti meningkatkan patroli laut gabungan, aerial surveillance, dan intelligence sharing.
Kedua, Indonesia harus dapat memaksimalkan keanggotaannya di DK PBB untuk menunjukkan komitmen dalam membangun Angkatan Laut dengan visi green-water-navy.
Visi green-water-navy sendiri telah tercantum di dalam dokumen Minimum Essential Force (MEF) 2024 sebagai bagian modernisasi militer.
Green-water-navy adalah sebuah visi untuk memiliki Angkatan laut yang dapat melakukan kontrol laut Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) secara efektif dan memiliki power projection berskala regional.
Untuk itu, komitmen yang harus dibangun di DK PBB seharusnya tidak hanya meningkatkan jumlah pasukan penjaga perdamaian Indonesia menjadi 4.000 personel pada 2019. Indonesia juga harus berkomitmen mengirimkan kapal-kapal Angkatan Laut dalam menjaga keamanan pelayaran di kawasan.
Dengan mengangkat visi green-water-navy di DK PBB, Indonesia juga memiliki kesempatan besar dalam membangun kerja sama modernisasi alat utama sistem pertahanan (alutsista) dengan negara sahabat, utamanya dalam mendorong terwujudnya transfer of technology based joint production.
Ketiga, keanggotaan Indonesia di DK PBB juga harus dijadikan momentum untuk kembali mengangkat konsep Indo-Pasifik dan berperan dalam mengajukan "rules of engagement" di Samudera Hindia dan Pasifik.
Ini merupakan momentum besar untuk kembali mengangkat hasil-hasil Jakarta Concord yang disepakati saat pertemuan IORA 2017, di mana ketika itu Indonesia menjadi Chairman.
Sebagai perwakilan dari grup Asia Pasifik, Indonesia juga memiliki posisi diplomasi kuat untuk membangun jalur komunikasi informal di antara negara besar di kawasan, yakni Jepang, China, India, dan Australia, sebagai bagian dalam membentuk poros stabilitas dan perdamaian di kawasan.
Sebagai satu-satunya negara maritim di antara Anggota Tidak Tetap DK PBB, Indonesia seharusnya memanfaatkan identitas maritimnya tersebut untuk memainkan peran konstruktif dalam menanggulangi meningkatnya isu-isu keamanan maritim global.
Dengan mengedepankan prinsip-prinsip UNCLOS dalam melakukan diplomasi maritim, maka dua tahun keanggotaan Indonesia di DK PBB ini akan dapat membawa manfaat yang demikian besar.
Tentu saja, advokasi terhadap isu keamanan maritim ini tidak akan mengikis empat isu prioritas lain yang telah dicanangkan sebelumnya.
Namun, seyogianya visi Presiden Joko Widodo untuk menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, sudah saatnya Indonesia beranjak dari hanya mengedepankan identitas sebagai negara demokrasi dengan penduduk Muslim terbesar di dunia semata.
Ini saatnya Indonesia mengedepankan identitasnya sebagai negara kepulauan terbesar dengan cara turut mengadvokasi isu keamanan maritim di DK PBB. Indonesi, bisa!
Pandu Utama Manggala, MA, M.Dipl
Kandidat di National Graduate Institute for Policy Studies (GRIPS), Tokyo Jepang. Koordinator Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia (PPI Dunia).