JAKARTA, KOMPAS.com - Nilai tukar rupiah diprediksi menguat karena melemahnya dillar AS. Perhatian investor akan tertuju pada data penjualan ritel Indonesia yang dijadwalkan rilis pada Rabu (11/7/2018) besok.
Chief Market Strategist FXTM Hussein Sayed mengatakan, jika data aktual lebih besar dari proyeksi pasar yaitu 4.4 persen, maka Rupiah berpotensi semakin menguat. Hal ini menunjukkan investor tak terpengaruh dengan isu perang dagang global.
"Ketegangan dagang mendominasi tajuk utama pekan lalu, namun investor Wall Street mengabaikan isu perang dagang dan menyambut gembira laporan lapangan kerja Amerika Serikat," ujar Hussein melalui keterangan tertulis, Selasa (10/7/2018).
Diketahui, sebanyak 213.000 lapangan kerja baru dibuka di ekonomi AS di bulan Juni. Angka tersebut jauh melampaui proyeksi sebelumnya, yakni 195.000.
Sementara itu, data Mei ditingkatkan dari 223.000 menjadi 244.000. Pertumbuhan upah sedikit lebih rendah dari ekspektasi 2,8 persen YoY yaitu 2,7 persen.
"Walau demikian, pertumbuhan lapangan kerja yang baik dan rendahnya inflasi upah adalah kombinasi positif untuk saham karena alasan sederhana," kata Hussein.
Ia menambahkan, pertumbuhan lapangan kerja yang baik mencerminkan kekuatan ekonomi. Inflasi upah yang rendah memberi fleksibilitas ekstra untuk Federal Reserve untuk memperketat kebijakan.
Meski begitu, keadaan positif bisa terhenti kapan saja jika investor yakin bahwa ketegangan dagang bergerak ke arah yang mengkhawatirkan. Sejauh ini, kata Hussein, AS telah memberlakukan tarif 34 miliar dollar untuk impor dari China.
Begitu pula China terhadap impor AS. Tahap ini jelas sudah terefleksikan pada harga. Meninjau kinerja saham Asia hari ini, Hussein menilai bahwa investor sepertinya tidak berpendapat bahwa perang dagang akan terjadi.
"Walau begitu, Presiden Trump sulit ditebak sehingga momentum naik ini sepertinya akan terbatas, terutama untuk saham siklikal, hingga ada kejelasan mengenai isu perdagangan," kata Hussein.
Di pasar FX, Indeks Dolar merosot ke level terendah sejak 14 Juni yaitu di bawah 94 karena pertumbuhan upah yang stagnan. Hussein mengatakan, trader perlu memantau rilis Indeks Harga Konsumen AS di hari Jumat yang diperkirakan akan meningkat 2,9 persen YoY yang merupakan peningkatan tahunan terbesar sejak Februari 2012.
Jika IHK melampaui acuan 3 persen, maka dollar berpotensi sangat menguat karena ini berarti Fed tidak memiliki pilihan selain semakin memperketat kebijakan.
Sementara itu, harga minyak menguat di awal pekan ini walaupun jumlah sumur minyak aktif di AS meningkat sebanyak 5 buah pada pekan lalu. Hussein mengatakan, kicauan Trump di Twitter yang mendorong OPEC untuk meningkatkan produksi terbukti tidak terlalu berpengaruh untuk menurunkan harga minyak sejauh ini. Backwardation terus meningkat di kurva futures Brent dan WTI, merefleksikan ketatnya pasar minyak.
"Perhatian akan tertuju pada produksi OPEC bulan ini, terutama dari Arab Saudi, setelah Trump mendorong OPEC untuk mengambil langkah menurunkan harga minyak," kata Hussein.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.