JAKARTA, KOMPAS.com — Setelah melakukan pembahasan khusus dengan sejumlah pemangku kepentingan, (stakeholder) Badan Ketahanan Pangan dan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjend PKH) Kementerian Pertanian (Kementan) menyampaikan beberapa hal terkait mahalnya harga telur ayam ras belakangan ini.
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan I Ketut Diarmita mengatakan bahwa beberapa faktor penyebab kenaikan harga telur dan juga daging ayam ras pasca-Lebaran di antaranya terjadinya lonjakan kebutuhan telur secara nasional terkait beberapa program pengadaan telur langsung untuk masyarakat miskin dan KJP DKI.
Faktor kedua adalah bagusnya harga daging ayam pada saat Lebaran. Akibatnya, banyak peternak melakukan afkir dini ayam petelur (layer) untuk dijual dagingnya.
Adapun faktor ketiga adalah pelarangan penggunaan antibiotic growth promoters (AGP) dan Ractopamine dalam pakan ternak yang membuat harga telur dan daging ayam menjadi mahal akibat telur zero residu AGP.
Penggunaan AGP pada ternak dikhawatirkan menimbulkan resistensi bagi orang yang mengonsumsi daging atau telur.
"Pengaruh yang cukup signifikan sebenarnya bukan pada pelarangan AGP karena peternak sudah banyak melakukan substitusi sebagai pengganti pemakaian AGP. Menurut peternak layer, justru penyakit koksi yang terbesar pengaruhnya dalam menurunkan produksi," ujar Diarmita.
Diarmita melanjutkan, faktor keempat adalah adanya permintaan telur yang meningkat selama liburan panjang.
Aspirasi Peternak
Khusus mengenai pelarangan penggunaan AGP, kalangan pelaku usaha peternakan ayam potong menyampaikan beberapa usulan kepada Kementerian Pertanian agar aturan tersebut hanya diberlakukan di tingkat budidaya F-1 (finalstock) atau pakan untuk peternakan. Hasil hasil daging di tingkat F-1 inilah yang menurut mereka akan dikonsumsi langsung oleh masyarakat dan akan mengurangi residu antibiotik yang ada.
"Tapi, kalau pelarangan AGP ini diberlakukan juga di tingkat budidaya grand parent stock atau GPS dan parent stock (PS), maka secara langsung akan memengaruhi dua hal dalam budidaya broiler. Pertama, performa di tingkat induk yang kurang bagus sehingga anak ayam (day old chicken/DOC) yang dihasilkan menjadi tidak optimal dan akhirnya menaikkan HPP DOC dari ternak pembiakan (breeding farm)," ujar Parjuni dari Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Parsuni) Jawa Tengah.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanDapatkan informasi dan insight pilihan redaksi Kompas.com
Daftarkan EmailPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.