BAYANGKANLAH suatu area atau kota di mana kita bekerja di perusahaan milik sendiri. Menabung di bank milik sendiri. Akses rumah sakit yang kita miliki juga. Konsumsi sayur mayur dari petani yang kita ikut biayai. Melanggan asuransi kesehatan yang juga kita miliki. Tinggal di perumahan yang dibangun secara kolektif.
Ya, suatu ekosistem yang menghubungkan multipelaku. Utopia seperti itu tampak seperti mustahil, di Indonesia.
Utopia itu sendiri, meminjam istilah sosiolog kawakan Karl Meinheim, merupakan suatu idealitas yang dibangun dari sistem nilai yang berbeda dari sistem nilai dominan.
Di sebelahnya, Meinheim menyebutnya sebagai ideologi, yakni sistem nilai yang sedang beroperasi secara masif.
Itu yang membuat banyak orang menyebut utopia sama dengan khayalan. Lalu menyebut "utopis" sama dengan mustahil, dalam makna peyoratif.
Utopia yang saya suguhkan di muka nyatanya sudah terjadi di beberapa belahan dunia. Salah satunya di Korea Selatan ketika iCOOP membangun dua proyek mercusuar, Goesan dan Gurye Natural Dream Park.
Proyek itu berskala 50-100 hektar itu dibangun secara kolektif. Fasilitas pengolahan, peternakan, produksi, penginapan, sekolah dan juga rumah sakit tersedia secara terpadu. Pembangunannya memakan waktu empat tahun dan baru diresmikan pada 2014 dan terus dikembangkan sampai sekarang.
Beberapa abad lalu, utopia sejenis dikerjakan oleh orang gila dari Inggris, salah satunya Robert Owen. Dua proyek beda waktu itu bernama New Lanark (1786) dan New Harmony (1825).
Gagasan besarnya sama, sebuah area ekonomi sosial yang diselenggarakan secara padu. Boleh jadi karena rendahnya kesadaran dan teknik-teknik pengorganisasian serta pengelolaan, proyek itu gagal.
Perlunya utopia
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.