Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Firdaus Putra, HC
Komite Eksekutif ICCI

Ketua Komite Eksekutif Indonesian Consortium for Cooperatives Innovation (ICCI), Sekretaris Umum Asosiasi Neo Koperasi Indonesia (ANKI) dan Pengurus Pusat Keluarga Alumni Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED)

Utopia Ekonomi Sosial 4.0

Kompas.com - 26/07/2018, 23:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BAYANGKANLAH suatu area atau kota di mana kita bekerja di perusahaan milik sendiri. Menabung di bank milik sendiri. Akses rumah sakit yang kita miliki juga. Konsumsi sayur mayur dari petani yang kita ikut biayai. Melanggan asuransi kesehatan yang juga kita miliki. Tinggal di perumahan yang dibangun secara kolektif.

Ya, suatu ekosistem yang menghubungkan multipelaku. Utopia seperti itu tampak seperti mustahil, di Indonesia.

Utopia itu sendiri, meminjam istilah sosiolog kawakan Karl Meinheim, merupakan suatu idealitas yang dibangun dari sistem nilai yang berbeda dari sistem nilai dominan.

Di sebelahnya, Meinheim menyebutnya sebagai ideologi, yakni sistem nilai yang sedang beroperasi secara masif.

Itu yang membuat banyak orang menyebut utopia sama dengan khayalan. Lalu menyebut "utopis" sama dengan mustahil, dalam makna peyoratif.

Utopia yang saya suguhkan di muka nyatanya sudah terjadi di beberapa belahan dunia. Salah satunya di Korea Selatan ketika iCOOP membangun dua proyek mercusuar, Goesan dan Gurye Natural Dream Park.

Proyek itu berskala 50-100 hektar itu dibangun secara kolektif. Fasilitas pengolahan, peternakan, produksi, penginapan, sekolah dan juga rumah sakit tersedia secara terpadu. Pembangunannya memakan waktu empat tahun dan baru diresmikan pada 2014 dan terus dikembangkan sampai sekarang.

Beberapa abad lalu, utopia sejenis dikerjakan oleh orang gila dari Inggris, salah satunya Robert Owen. Dua proyek beda waktu itu bernama New Lanark (1786) dan New Harmony (1825).

Gagasan besarnya sama, sebuah area ekonomi sosial yang diselenggarakan secara padu. Boleh jadi karena rendahnya kesadaran dan teknik-teknik pengorganisasian serta pengelolaan, proyek itu gagal.

Perlunya utopia

Kita butuh utopia bukan sebagai candu romantisme yang melenakkan. Sebaliknya, sebagai energi dorong untuk mengkreasi masa depan dengan cara berbeda.

Lantas mengapa perlu berbeda? Sebabnya, sistem nilai dominan tak terlalu cukup daya dukung bagi hidup lebih baik secara komunal. Sistem nilai saat ini cenderung promosikan individualisme dan persaingan dengan hasil akhir: pemenang dan pecundang. Itu yang kemudian kita sebut sebagai kapitalisme.

Bila kita ekstrapolasi dari kondisi hari ini, masa depan akan penuh ketakpastian. Sebutlah masalah tenaga kerja dimana precarious proletariat (prekariat), makin besar.

Alih-alih formalisasi, tren masa depan akan lebih banyak terjadi informalisasi tenaga kerja (CICOPA, 2017). Apa yang hari ini kita sebut sebagai “mitra” dalam platform ekonomi berbagi adalah bentuk informalisasi itu. Sebagai contoh, tumbuhnya ratusan ribu driver transportasi online menunjukkan gejala itu.

Selain pasar tenaga kerja, ketimpangan ekonomi juga akan makin lebar. Laporan terbaru Indeks Gini Indonesia membaik, dari 0,39 menjadi 0,38, yang dihitung dari agregat konsumsi (Juli, 2018). Namun, kekayaan masih terkonsentrasi hanya di beberapa kelompok orang. Itu terkonfirmasi dari Indeks Kapitalisme Kroni yang menempatkan Indonesia di urutan ke ketujuh secara internasional. Jadi, kondisi senyatanya belum sepenuhnya berubah banyak.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Whats New
Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Whats New
Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Whats New
Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Whats New
Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Whats New
Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Whats New
Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Whats New
Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Work Smart
Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Whats New
Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Whats New
Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Whats New
Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Whats New
Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Whats New
KA Argo Bromo Anggrek Pakai Kereta Eksekutif New Generation per 29 Maret

KA Argo Bromo Anggrek Pakai Kereta Eksekutif New Generation per 29 Maret

Whats New
Mudik Lebaran 2024, Bocoran BPJT: Ada Diskon Tarif Tol Maksimal 20 Persen

Mudik Lebaran 2024, Bocoran BPJT: Ada Diskon Tarif Tol Maksimal 20 Persen

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com