Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rhenald Kasali
Guru Besar Manajemen

Akademisi dan praktisi bisnis yang juga guru besar bidang Ilmu manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sejumlah buku telah dituliskannya antara lain Sembilan Fenomena Bisnis (1997), Change! (2005), Recode Your Change DNA (2007), Disruptions, Tommorow Is Today, Self Disruption dan The Great Shifting. Atas buku-buku yang ditulisnya, Rhenald Kasali mendapat penghargaan Writer of The Year 2018 dari Ikapi

Politisi dan Divestasi Freeport

Kompas.com - 07/08/2018, 09:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Saya punya banyak teman yang berprofesi sebagai politisi. Tentu saja saya bangga dengan kesungguhan teman-teman seperti Refrizal (Fraksi PKS-Sumatra Barat), Akbar Faisal (Fraksi Nasdem, Sulawesi Selatan), atau yang kini duduk di jajaran kabinet, seperti Tjahjo Kumolo, Hanif Dhakiri, Eko Putro Sandjojo dan Asman Abnur.

Mereka benar-benar aktif bekerja, menata, bersilaturahmi, turun ke bawah, melihat dengan mata kepala sendiri dan mencari solusi untuk rakyat kecil, mengawal konstitusi.

Tetapi sebaliknya saya suka tersenyum-senyum setiap kali mendengar teman-teman politisi lain yang bekerja di ladang kata, dan hanya pandai mencela. Apalagi kalau sudah berbicara soal kedudukan orang lain. Atau korporasi besar yang proses divestasinya benar-benar rumit, sulit ditafsirkan hanya dengan olah kata.

Bukannya apa-apa, kita punya pengalaman yang sangat buruk dengan karakter seperti ini. Mungkin mereka bukan "pemain utama" tetapi perspektifnya vested. Menurut kamus perubahan, vested adalah kepentingan yang tertanam kuat sekali sehingga menghambat terjadinya kemajuan (perubahan).

Baca: Luhut Sebut Pihak yang Ributkan Divestasi Freeport Tak Mengerti Dagang

Misalnya saja saat kita sedang berjuang agar gunung emas Freeport bisa segera kembali ke pangkuan ibu pertiwi, ternyata apapun diskusinya “papa tetap minta saham” dan semua eksekutif salah. Saat bangsa membincangkan manfaat E-KTP, mereka mengais-ngais kesempatan.

Demikian juga dengan proyek-proyek infrastruktur, wisma atlet dan lain sebagainya. Sampai-sampai saat memilih komisioner untuk kepentingan publik yang sudah bagus pun mereka goreng juga dengan berbagai alasan kalau konconya tidak lolos.

Mengapa Politisi Suka Berbohong?

Pertanyaan ini bukan hanya ada di sini. Menurut riset yang dilakukan Seth Stephens-Davidowitz (2017), kebohohongan itu bisa dilacak dari jejak-jejak yang ditinggalkan manusia di dunia maya. Semua orang merasa "aman" atas kebohongannya, padahal digital printingnya susah dihapus. Demikianlah ia menyimpulkan.

Saat membahas tentang masa depan ekonomi Inggris pasca-Brexit, teman saya seorang Guru Besar terkemuka Universitas Cambridge juga menandaskan hal serupa. "Selain dipakai dalam kampanye MAGA di AS, kebohongan politisi juga melahirkan Brexit," imbuhnya.

Menurutnya, selalu ada politisi yang membuat proposal untuk mengganti kekuasaan dengan menciptakan kebohongan. "Mereka pasang iklan besar-besar bahwa gara-gara bergabung dengan Uni Eropa, rakyat Inggris setiap hari harus mengeluarkan 1 miliar Poundsterling untuk membiayai pengungsi dari Syria. Saya heran kok rakyat mempercayai bualan bohong itu," tambahnya.

Fenomena liberal Ini mirip dengan yang dilakukan di Amerika Serikat untuk memberi ruh pada kampanye MAGA (Make America Great Again). Digaungkanlah seakan-akan Amerika sedang dalam serangan kaum Muslimin dan imigran, bahkan oleh tenaga kerja dan bisnis dari Tiongkok. Sampai- sampai CNN memasang iklan tentang buah apel yang dikatakan berulang-ulang sebagai buah pisang oleh orang tertentu dan kita kemudian ikut-ikutan mengatakan, "ternyata apel ini pisang."

Tetapi untuk mencapai kesepakatan bahwa buah apel itu pisang, biayanya sangat besar. Ketakutan harus dibangun, konflik diciptakan, bahkan budaya saling menolong yang dibangun oleh nilai-nilai agama dan spiritual pun dihancurkan. Mereka hanya berjubah agama, tetapi tidak mengajarkan kebaikan.

Di sini, fenomena liberal mirip Inggris dan Amerika itu juga mulai didengungkan politisi tertentu. Mulai dari ancaman serbuan TKA, hutang, isu PKI, kebangkrutan Pertamina, hidup yang makin melarat, daya beli, sampai soal divestasi Freeport.

Liberalisasi pemikiran mencapai puncaknya saat kaum terpelajar yang tidak punya niat jahat sekalipun akhirnya sepakat mengatakan "Apel yang kita kenal selama ini, sesungguhnya adalah pisang."

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com