Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Neraca Perdagangan Defisit, Rupiah Melemah Terus

Kompas.com - 07/08/2018, 15:20 WIB
Mutia Fauzia,
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Tren pelemahan rupiah yang masih terjadi sejak awal tahun dinilai pengamat sebagai salah satu akibat neraca perdagangan Indonesia yang terus defisit.

Meskipun sempat surplus pada bulan Maret dan Juni 2018, namun secara tahunan dari bulan Januari hingga Juni 2018, neraca perdagangan masih defisit sebesar 1,02 miliar dollar AS.

Direktur Institue for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menjelaskan, tren penguatan dollar AS hanya terjadi di Indonesia dan Filipina.

Sebab, menurutnya, hanya kedua negara tersebut yang mengalami defisit neraca perdagangan, bahkan defisit neraca berjalan (current account deficit/CAD).

"Hanya Indonesia dan Filipina yang dollar (AS)-nya menguat, penguatannya kita lihat misalnya yang di bawah-bawah (Malaysia dan Singapura), ini cuma sekitar 2 persen. Bahkan untuk yuan China 1,91 persen, tetapi untuk Indonesia ini 3,81 persen dan Filipina 2,32 persen," ujar Enny ketika memberikan paparan pada Seminar Menentukan Nasib Jangka Panjang Ekonomi Indonesia di Jakarta, Selasa (7/8/2018).

Lebih lanjut, Enny menjelaskan, secara global, hampir semua negara sepanjang tahun 2016 hingga 2017 mengalami tren pertumbuhan ekonomi yang positif.

Bahkan, dirinya menjelaskan, pertumbuhan ekonomi global yang tadinya hanya sebesar 3,2 persen di tahun 2016, pada tahun 2017 mencapai 3,8 persen.

Adapun target pertumbuhan ekonomi global tahun ini sebesar 3,9 persen.

Dirinya mencontohkan, China yang tahun ini pertumbuhan ekonominya sedikit mengalami koreksi lantaran koflik geopolitik dan ekonomi dengan AS pada tahun 2017 lalu melampaui target, yaitu 6,9 persen dari 6,8 persen.

"China itu sudah pernah lebih dari 7 persen (pertumbuhan ekonominya). Yang lain semuanya trennya positif, bahkan yang tadinya negatif seperti Brazil saja sudah mulai postif, semuanya positf. Kecuali Indonesia sayangnya," ujar Enny.

Menurut Enny, hal ini juga salah satu dampak dari normalisasi kebijakan AS yang tidak lagi menganut kebijakan suku bunga rendah. Indonesia dianggap tidak terlalu siap menghadapi hal ini dibandingkan dengan negara lain.

Menurutnya, selama Indonesia tak kunjung memerbaiki neraca perdagangannya, rupiah akan terus terdepresiasi.

"Itu yang jadi problem utama. Suku bunga naik 50 bps (basis poin) pun enggak akan nendang untuk mengerem depresiasi rupiah," jelas Enny.

"Persoalannya memang bukan di moneter, tapi di sektor riil," ujar dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com