Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

DJSN: Kinerja Direksi BPJS Kesehatan Harus Dievaluasi

Kompas.com - 14/08/2018, 19:16 WIB
Putri Syifa Nurfadilah,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Data BPS 2017 menunjukkan bahwa jaminan kesehatan semesta di Indonesia baru mencapai 72,9 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Jumlah itu setara dengan layanan yang mencakup 183 juta jiwa.

Angka ini masih jauh target 100 persen kepesertaan JKN di tahun 2019. Diperkirakan target tersebut sulit dicapai, karena masih ada 20 persen jumlah penduduk yang belum menjadi peserta JKN.

Wakil Ketua Komisi Kebijakan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Ahmad Ansyori dalam diskusi di Hotel Atlet Century, Selasa (14/8/2018) mengungkapkan, BPJS Kesehatan kurang berusaha untuk menambah peserta seperti target yang telah ditetapkan.

"UHC (universal health care/ jaminan kesehatan semesta) akan sulit dicapai karena BPJS Kesehatan tidak menunjukkan upaya yang cukup untuk menambah jumlah peserta,” ujar Ahmad.

Dia menambahkan, BPJS Kesehatan dalam hal ini UHC JKN tidak hanya sekedar berarti setiap penduduk wajib terdaftar, tapi juga kepastian terhadap akses pelayanan kesehatan dan perlindungan risiko finansial masyarakat saat menggunakan pelayanan kesehatan.

Sementara itu penelitian yang dilakukan  Prakarsa tahun 2017 di 11 kabupaten di Indonesia menemukan bahwa peserta JKN dari kelompok rumah tangga miskin masih harus mengeluarkan biaya tambahan (out of pocket) untuk mengakses layanan kesehatan.

Biaya yang harus dikeluarkan obat dan rehabilitasi medis nilainya mencapai Rp 7 juta rupiah. Biaya ini menyulitkan kondisi ekonomi lebih dari 70 persen pasien keluarga miskin di mana 50 persen di antaranya bahkan terpaksa berhutang guna menutupi biaya tersebut.

Layanan dan pengobatan berbiaya tinggi yang dihapuskan dari daftar layanan kesehatan yang ditanggung dalam skema JKN, misalnya penghentian pembiayaan obat trastuzumab untuk pasien kanker payudara HER2 Positif per 1 April 2018 sangat membebani peserta JKN.

Direktur Prakarsa Ah Maftuchan mengatakan ada sejumlah opsi kebijakan yang dapat dilakukan. Antara lain pada dimensi layanan yang mesti dilakukan BPJS Kesehatan yakni pembangunan infrastruktur, SDM yang mencukupi, peningkatan layanan, ketersediaan obat, dan lain-lain.

“Pemerintah harus memiliki program pembangunan infrastruktur dasar bidang kesehatan, melakukan pembangunan SDM bidang kesehatan yang mencukupi dari sisi rasio jumlah penduduk dan peningkatan kualitas layanan, memastikan ketersediaan obat, perlengkapan alat kesehatan, kepedulian tenaga kesehatan kepada pasien dan lain-lain”, pungkasnya.

Selain itu, mengenai defisit pembiayaan yang dialami oleh BPJS Kesehatan perlu mendapat jalan keluar yang tuntas. Menurut salah satu anggota Komisi IX DPR RI Irma Suryani Chaniago, evaluasi kinerja BPJS perlu dilakukan terutama mengenai anggaran.

“Terkait persoalan defisit dan karut marut layanan BPJS, kinerja Direksi BPJS Kesehatan perlu dievaluasi. Alokasi APBN sebesar 5 persen harus diimplementasikan untuk kesehatan di luar belanja pegawai kesehatan, optimasi pajak dan cukai untuk pembiayaan kesehatan,” tegasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com