Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melihat Skema Pendanaan Energi Terbarukan Indonesia Pasca-Piagam Paris

Kompas.com - 23/08/2018, 11:10 WIB
Firmansyah,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

Skema pendanaan berikutnya dengan cara investasi melalui KPBU (Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha) dengan Independent Power Producer. Berikutnya, investasi melalui skema APBD (Dana Alokasi Khusus atau DAK) dan Investasi oleh Kementerian Lain.

Secara teknis ia menyebutkan, pemerintah melalui Kementerian ESDM telah mengalokasikan anggaran untuk pembangunan pembangkit/infrastruktur EBT pada Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM (Ditjen EBTKE Kementerian ESDM).

Adapun jumlah Mata Anggaran Kegiatan (MAK) Belanja Barang dan Belanja Modal dengan total anggaran dan realisasi pada tahun 2015 sampai dengan 2016 terdiri dari belanja barang dengan anggaran sebesar Rp 3,22 triliun dan realisasi Rp 2,053 triliun. Selanjutnya belanja modal dengan anggaran sebesar Rp 37,258 miliar dan realisasi sebesar Rp 25,463 miliar. (LHP BPK 2017).

Skema pendanaan lainnya didapat dari hibah luar negeri seperti MCA-Indonesia, Green Climate Fund, ESP3, USAID-ICED, dan lainnya. Dana non-APBN tersebut dapat diperoleh dari berbagai sumber. Green Climate Fund (GCF) di bawah naungan UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) misalnya, menetapkan dana perubahan iklim sebesar 10,3 miliar USD.

Indonesia dapat mengaksesnya melalui PT. Sarana Multi Infrastruktur, BUMN yang berhasil memperoleh akreditasi GCF. Dana hibah juga termasuk salah satu sumber pendanaan non-APBN.

Obligasi Hijau

Indonesia menjadi negara Asia pertama yang menjual obligasi "hijau" secara internasional dalam kesepakatan 1,25 miliar dollar AS sebagai salah satu penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia yang memanfaatkan minat investor dalam investasi ramah iklim. Tidak banyak negara dunia melakukan langkah tersebut di mana dana digunakan untuk pembangunan ramah lingkungan.

Sementara itu Fabby Tumiwa, Direktur Eksektutif Institute for Essential Services Reform (IESR), mengkritik target mengikis emisi 29 persen hingga 2030 dan EBT mencapai 23 persen pada 2025 sulit tercapai karena belum ada skema dan belum ada rencana pendanaan.

"Subsidi BBM dan LPG serta listrik dalam 2 tahun ini terus naik. Sementara itu tidak ada dukungan pendanaan untuk energi terbarukan.Sementara itu penggunaan batubara oleh PLN justru diberikan insentif lewat kebijakan DMO batubara dimana harga batubara dalam negeri dipatok lebih rendah daripada harga internasional. Walaupun ini dilakukan dalam rangka menjaga agar biaya produksi listrik terkendali tapi kebijakan ini juga membuat PLN enggan mengembangkan energi bersih," sebutnya.

Pemerintah Indonesia optimistis target 23 persen EBT dapat dicapai pada 2025 mengingat melimpahnya potensi energi baru terbarukan yang bisa dikembangkan. Di antaranya adalah Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi yang memiliki potensi hingga 29 Gigawatt (GW).

Optimisme itu agak terganjal jika dilihat realisasi capaian EBT saat ini di mana secara nasional EBT Indonesia baru mencapai angka 11,9 persen hingga 12 persen persen dilihat dari APBN-P 2017. Sementara target waktu hanya menyisakan 8 tahun.

Hanya PLN di Pulau Sumatera yang mengklaim EBT yang digunakan mencapai 21 persen hingga Agustus 2018. Direktur Bisnis PT PLN Regional Sumatera, Wiluyo Kusdwiharto, menyebutkan, sudah 21 persen pembangkit listrik di Pulau Sumatera berasal dari energi baru terbarukan (EBT). Selanjutnya, pada 2025 target 23 persen EBT di Sumatera akan terpenuhi.

"Pulau Sumatera sangat memenuhi syarat membangun energi baru terbarukan, yang berasal dari panas bumi, surya, dan lainnya," tutup Wiluyo.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com