Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Perhimpunan Pelajar Indonesia
PPI

Perhimpunan Pelajar Indonesia (www.ppidunia.org)

Bijak Mengonsumsi Obat Bernama Subsidi

Kompas.com - 04/09/2018, 12:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Namun, obat tidak sembarang diberikan di Negeri Kiwi itu. Kami harus mendapat otentikasi resep dari dokter. Akhirnya, mau tidak mau kami ke puskesmas, mereka menyebutnya medical centre, dan menemui dokter yang kebetulan orang Indonesia.

Sewaktu anak kami diperiksa, beberapa saat kemudian saya bertanya, "Dok, obatnya apa, ya?"

Dibiarkan saja, nanti juga sembuh sendiri. Jaga kebersihan, jaga kesehatan, jangan stres, khususnya ibunya, biar ASI tetap lancar. Begitu jawab dokter tersebut.

Kami agak kaget mendengarnya. Apa benar anak saya bisa sembuh? Nyatanya, dia sembuh juga seminggu setelahnya.

Refleksi saya, mungkin kita di negara berkembang, khususnya Indonesia, selama ini berpersepsi dalam alam  bawah sadar bahwa kalau sakit harus diberi obat yang berbentuk pil atau kapsul atau semacamnya itu.

Sementara ada opsi lain bahwa sebenarnya bukan obat yang diperlukan, tetapi sebenarnya perbaikan di bidang lain dan juga kesabaran sejenak.

Saya merenungkan bahwa obat memang dapat menyembuhkan penyakit. Akan tetapi, lingkungan dan pesimisme yang buruk bisa membuat penyakit datang kembali atau bahkan tahan terhadap obat.

Bak obat tersebut, pada jangka waktu dan level tertentu, subsidi diperlukan untuk menyembuhkan penyakit bernama kemiskinan. Akan tetapi, pada satu waktu, bisa jadi ia malah memperburuk keadaan.

Efek samping subsidi

Subsidi berkepanjangan memang membuat masyarakat senang. Namun, bagaimanapun juga subsidi adalah beban negara. Statusnya sebagai beban ekonomi tidak akan pernah bisa diacuhkan (Diop, 2014).

Setidaknya, ada tiga efek samping kebijakan subsidi yang mematikan kemampuan negara dan masyarakatnya untuk berpikir, bertahan, dan berkembang.

Pertama, subsidi yang berlebihan dan tak terkendali dapat menggerogoti keuangan negara. Kedua, subisidi membunuh insentif pada masyarakat dan pemerintah untuk aktif berproduksi. Ketiga, kebijakan ini bisa berjalan di luar kendali karena dijadikan komoditas politik.

Tiga efek samping itu menjadi dorongan atas kejatuhan Indonesia pada 1998 dan kini pada Venezuela. Karena subsidi, keuangan negara difokuskan pada kegiatan yang bersifat konsumtif.

Artinya, kucuran dana subisidi difokuskan pada aktivitas konsumsi masyarakat bukan pada, misalnya, pengembangan kapasitas, pendidikan, dan pengetahuan publik.

Agak mencengangkan sebenarnya melihat contoh bahwa dana subisdi yang dikeluarkan untuk bahan bakar minyak (BBM) pada era 1999-2016 di Indonesia adalah sebesar tiga kali lipat lebih besar biaya kesehatan (Jazuli, 2017).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com