JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia memasuki babak baru keekonomian dengan menguji kurs di angka RP 15.000 per dollar AS. Sejumlah pihak lantas menghubungkan hal itu dengan krisis yang dialami Indonesia pada 1998.
Praktisi pasar modal Lucky Bayu Purnomo menepis kekhawatiran sebagian orang akan ancaman krisis di Indonesia sebagaimana yang terjadi di Argentina dan Turki.
"Kalau ada pertanyaan, apakah dengan (kurs) Rp 14.800 (per dollar AS) akan terjadi krisis yang sama dengan 1998? Saya kira tidak," ujar Lucky dalam diskusi di Jakarta, Sabtu (8/9/2018).
Ia mengatakan, ketahanan perekonomian Indonesia telah diuji saat masuk ke nilai tukar du level Rp14.800 per dollar. Bahkan, hingga rupiah menyentuh Rp 15.000, krisis yang ditakutkan itu pun tidak terjadi.
Baca juga: Kurs Rupiah yang Stabil, Untuk Siapa?
Pemerintah langsung bertindak dengan mengeluarkan berbagai instrumen untuk menekan rupiah hingga Rp 14.800.
"Kekhawatiran di angka Rp 14.800 itu bisa diabaikan karena kita sudah melampaui Rp 15.000," kata Lucky.
Menurut dia, mata uang rupiah pernah bertengger di angka Rp 14.800 pada 2015. Saat itu pun krisis tidak terjadi dan pemerintah bisa cepat melakukan pemulihan.
Deputi III Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu Ekonomi Strategis Kantor Staf Presiden, Denni Puspa Purbasari mengatakan, Indonesia bukan pertama kalinya mengalami kondisi perekonomian yang tak pasti. Bank Indonesia pun belajar dari pengalaman bagaimana menghadapi hal tersebut. Pemerintah juga berupaya memperbaiki defist neraca perdagangan dengan menekan impor.
"Percayalah bahwa kita punya akumulasi pengetahuan dalam menangani krisis. Kita akan lebih baik dalam menangani krisis," kata Denni.
Baca juga: Menko Darmin Optimistis Nilai Tukar Rupiah Tenang dalam Waktu Dekat