Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menakar Masa Depan Rupiah di 2019

Kompas.com - 12/09/2018, 11:37 WIB
Ambaranie Nadia Kemala Movanita ,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah menetapkan nilai tukar rupiah dalam asumsi makro Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2019 sebesar Rp 14.400. Angka tersebut lebih tinggi ketimbang asumsi makro APBN 2018 sebesar Rp 13.500.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, dalam pembahasan dengan anggota Komisi XI soal asumsi nilai tukar rupiah sebelumnya, disepakati angka Rp 14.000. Namun, ternyata dalam beberapa bulan terahir tekanan tehadap rupiah cenderung tinggi, melebihi prediksi. Hingga 7 September, rupiah tercatat Rp 14.884 per dollar AS. 

Jika dihitung rata-ratanya, sejak 1 Januari 2018 hingga 7 September 2018 rata-rata kurs rupiah Rp 13.977 per dollar AS. Oleh karena itu, pemerintah memasukkan nilai kurs di atas rentang yang disepakati sebelumnya dalam nota keuangan.

"Ini menggambarkan betapa dinamika yg kita hadapi bersama. Ini yang perlu dibahas untuk mendapatkan angka yang paling kredibel yang mencerminkan dinamika yang terjadi, namun bisa memberikan confidence bagi dasar perhitungan 2019 bagi APBN kita," kata Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI di kompleks DPR RI, Jakarta, Senin (10/9/2018).

Sri Mulyani mengatakan, sejumlah tantanan perekonomian global masih akan dihadapi ke depannya yang akan berpengaruh pada kurs rupiah ke depannya. Sri Mulyani mengatakan, permasalahan tersebut akan mempengaruhi kondisi capital inflow tang semakin turun.

Pada 2016-2017, current account deficit Indonesia berada di kisaran 17 mliar dollar AS. Sementara capital inflownya sebesar 29 miliar dollar sehingga CAD masih bisa ditutupi. Berbeda dengan kondisi 2018 di mana capital inflow tak bisa menutupi CAD karena tidak sekuat sebelumnya.

"Inilah yang kita harus mewaspadai terkait sentimen psikologi, soal faktual policy perdagangan di AS versus mitra dagang, dan mengenai kebijakan moneter AS yang cenderung suku bunganya meningkat. Itu yang akan mnentukan sentimen terhadap rupiah," kata Sri Mulyani.

Sementara itu, Bank Indonesia memprediksi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pada 2019 berkisar antara Rp 14.300 hingga Rp 14.700. Angka tersebut ditarik secara rasional dengan melihat kondisi kurs rupiah saat ini.

Sebagaimana diketahui, rupiah sempat menembus Rp 15.000 per dollar AS. Saat ini kurs bertahan di kisaran Rp 14.800.

BI, kata Mirza, memperkirakan bahwa 2019 merupakan puncak bagi bank sentral menaikkan suku bunga. Dengan demikian, setelah 2019, secara berangsur kondisi ekonomi pulih dan kurs rupiah mulai terkoreksi.

"Kami perkirakan bahwa volatilitas kurs di 2019 harusnya lebih rendah dibanding 2018," kata Deputi Gubernur Senior Mirza Adityaswara.

Penghantam rupiah

Sri Mulyani mengatakan, setidaknya ada dua faktor yang mempengaruhi kurs selaa ini dan akan menjadi penentu nasib rupiah ke depannya. Pertama, normalisasi kebijakan moneter AS di mana bank sentral terus menaikkan suku bunga acuan.

Kemudian, ada pula perangan dagang AS dengan sejumlah negara mitra yang mempengaruhi perekonomian negara-negara emerging. Kedua hal tersebut diprediksi masih akan berlanjut hingga tahun depan.

AS terus membebani tarif terhadap impor dari China yang membuat perang dagang kian memanas. Dampaknya tak hanya ke dua negara tersebut, tapi juga secara global. Padahal, kata Sri Mulyani, kalangan pebisnis telah memperingatkan Presiden AS Donald Trump mengenai risiko atas kebijakan itu.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

KB Bank Targetkan Penyelesaian Perbaikan Kualitas Aset Tahun Ini

KB Bank Targetkan Penyelesaian Perbaikan Kualitas Aset Tahun Ini

Whats New
Astra Agro Lestari Sepakati Pembagian Dividen Rp 165 Per Saham

Astra Agro Lestari Sepakati Pembagian Dividen Rp 165 Per Saham

Whats New
Ditopang Pertumbuhan Kredit, Sektor Perbankan Diprediksi Semakin Moncer

Ditopang Pertumbuhan Kredit, Sektor Perbankan Diprediksi Semakin Moncer

Whats New
Survei: 69 Persen Perusahaan Indonesia Tak Rekrut Pegawai Baru untuk Hindari PHK

Survei: 69 Persen Perusahaan Indonesia Tak Rekrut Pegawai Baru untuk Hindari PHK

Work Smart
Heboh Loker KAI Dianggap Sulit, Berapa Sih Potensi Gajinya?

Heboh Loker KAI Dianggap Sulit, Berapa Sih Potensi Gajinya?

Whats New
Tantangan Menuju Kesetaraan Gender di Perusahaan pada Era Kartini Masa Kini

Tantangan Menuju Kesetaraan Gender di Perusahaan pada Era Kartini Masa Kini

Work Smart
Bantuan Pesantren dan Pendidikan Islam Kemenag Sudah Dibuka, Ini Daftarnya

Bantuan Pesantren dan Pendidikan Islam Kemenag Sudah Dibuka, Ini Daftarnya

Whats New
Tanggung Utang Proyek Kereta Cepat Whoosh, KAI Minta Bantuan Pemerintah

Tanggung Utang Proyek Kereta Cepat Whoosh, KAI Minta Bantuan Pemerintah

Whats New
Tiket Kereta Go Show adalah Apa? Ini Pengertian dan Cara Belinya

Tiket Kereta Go Show adalah Apa? Ini Pengertian dan Cara Belinya

Whats New
OJK Bagikan Tips Kelola Keuangan Buat Ibu-ibu di Tengah Tren Pelemahan Rupiah

OJK Bagikan Tips Kelola Keuangan Buat Ibu-ibu di Tengah Tren Pelemahan Rupiah

Whats New
Pj Gubernur Jateng Apresiasi Mentan Amran yang Gerak Cepat Atasi Permasalahan Petani

Pj Gubernur Jateng Apresiasi Mentan Amran yang Gerak Cepat Atasi Permasalahan Petani

Whats New
LPEI dan Diaspora Indonesia Kerja Sama Buka Akses Pasar UKM Indonesia ke Kanada

LPEI dan Diaspora Indonesia Kerja Sama Buka Akses Pasar UKM Indonesia ke Kanada

Whats New
Unilever Tarik Es Krim Magnum Almond di Inggris, Bagaimana dengan Indonesia?

Unilever Tarik Es Krim Magnum Almond di Inggris, Bagaimana dengan Indonesia?

Whats New
Simak 5 Cara Merapikan Kondisi Keuangan Setelah Libur Lebaran

Simak 5 Cara Merapikan Kondisi Keuangan Setelah Libur Lebaran

Earn Smart
Studi Kelayakan Kereta Cepat ke Surabaya Digarap China, KAI: Kita Enggak Ikut

Studi Kelayakan Kereta Cepat ke Surabaya Digarap China, KAI: Kita Enggak Ikut

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com