Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menakar Masa Depan Rupiah di 2019

Kompas.com - 12/09/2018, 11:37 WIB
Ambaranie Nadia Kemala Movanita ,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

Perang dagang AS tak hanya dilancarkan ke China, tapi juga ke Kanada, Eropa, dan Jepang pun berpotensi terkena ebijakan tersebut.

"Ini tentu akan memberikan pengaruh risiko terhadap outlook dari perekonomian 2018 dan diperkirakan akan terus di 2019," kata Sri Mulyani.

Soal normalisasi kebijakan moneter Amerika Serikat, proses pemulihan telah berlangsung sejak 2017 di semua negara, semua wilayah, dan semua tingkat pendapatan. Ada dua hal yang dinormalisasi atas kebijakan tersebut, yakni tingkat suku bunga dan tingkat likuiditas.

"Normalisasi artinya mereka menyesuaikan kembali dua tindakan extra ordinary yang dilakukan bank sentral AS saat menghadapi krisis 2008," kata Sri Mulyani.

Saat itu, kebijakan luar biasa yang diambil adalah menurunkan suku bunga serendah mungkin hingga mendekati nol dan mencetak dolar AS cukup banyak.

Hal tersebut berimplikasi pada masa sekarang, salah satunya dengan menaikkan suku bunga sesuai pemulihan ekonomi AS. Ada pula ancaman inflasi sesuai target inflasi yang diterapkan The Fed pada level 2 persen.

Kemudian, likuiditas akan secara bertahap dikurangi. Implikais tersebut akan terasa secara global sebab dollar AS merupakan mata uang yang digunakan di seluruh dunia.

"Kita lihat kenaikan suku bunga AS selama beberapa kuartal trrakhir kenaikannya cukup besar. Dari 2017-2018 kenaikannya sudah 175 bps," kata Sri Mulyani.

"Dari sisi implikasinya, side risk dari pemulihan ekonomi dunia akan terjadi," lanjut dia.

Sementara itu, Bank Indonesia berpandangan bahwa ada faktor domestik yang mempengaruhi fluktuasi nilai tkaar rupiah. Suku bunga acuan yang terus ditambah oleh bank sentral hanya salah satu dari penyebabnya.

Di sisi lain, ada faktor defisit transaksi berjalan dan transaksi modal dan finansial yang menutupinya.

"Jadi itu kemudian sumber utama pelemahan kurs di tengah interest rate dari AS yang terus meningkat dan belum berhenti," ujar Mirza.

Mirza mengatakan, pada 2016 dan 2017, transaksi berjalannya masing-masing sebesar 17 miliar dollar AS dan 17,3 milliar dollar AS. Defisit tersebut kemudian ditutupi dengan investasi langsung masing-masing senilai 16,1 miliar dollar AS dan 19,4 miliar dollar AS.

Ditambah lagi dengan investasi portfolio sebesar 19 miliar dollar AS untuk 2016 dan 20,6 miliar dollar AS untuk 2017.

Namun, pada 2018, defisit transaksi berjalan lebih besar daripada modal untuk menutupinya. Defisit tahun ini sebesar 13,7 miliar dollar AS. Namun, transaksi modal dan finansialnya hanya 6,5 miliar dollar AS.

"Jadi 13,7 miliar dollar AS hanya bisa ditutup 6,5 miliar dollar AS," kata Mirza.

Ke depannya, kata Mirza, defisit transaksi berjalan akan terus di bawah tiga persen dan diprediksi menurun pada 2019. Namun, hal itu tergantung pada upaya mengurangi defisit transaksi berjalan.

"Termasuk impor terkait proyek infrastruktur yang saat ini beberapa akan dilakukan penjadwalan dan terkait implementasi B20," kata Mirza.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com