Akademisi dan praktisi bisnis yang juga guru besar bidang Ilmu manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sejumlah buku telah dituliskannya antara lain Sembilan Fenomena Bisnis (1997), Change! (2005), Recode Your Change DNA (2007), Disruptions, Tommorow Is Today, Self Disruption dan The Great Shifting. Atas buku-buku yang ditulisnya, Rhenald Kasali mendapat penghargaan Writer of The Year 2018 dari Ikapi
Perlahan-lahan fintech 1.0 ini, menurut Skinner, berkembang menjadi besar dan mengubah pola perbankan namun mereka besar di luar bank konvensional dengan core system yang berbeda. Mereka melihat pasar dari kekuatan teknologi (AI, APIs, Analitics, VR, Cloud Computing, dan mobility).
Kekuatannya pun ada pada jaringan (mempertemukan) dan kemampuan mesin mendeteksi karakter dan kebutuhan nasabah. Wajar kalau mereka merajutnya ke dalam platform, bukan korporasi biasa.
Lantas bagaimana respons bank-bank besar? Pakar fintech, Chris Skinner (2018) mencatat, kehadiran fintech cukup mengkhawatirkan bank-bank tua. Pantaslah DBS dan Barclay misalnya merespon dengan cara-cara baru. Tetapi jalurnya bukan fintech, melainkan techfin.
Berbeda dengan cara lama yang tertutup, mereka lebih kolaboratif dan kooperatif dengan fintech maupun antarbank. Hanya saja core strength mereka tetap sama, yaitu fundamental perbankan.
Fokus techfin adalah perbaikan (improvement), bukan mendisrupsi diri. Mereka sendiri kesulitan beralih menjadi fintech yang inklusi dan low cost karena SDM maupun nasabah-nasabahnya terikat dengan kebiasaan-kebiasaan lama, dan resisten terhadap perubahan.
Inklusi Keuangan
Sebenarnya kehadiran fintech bisa kita harapkan untuk mendisrupsi sektor keuangan dengan melayani “the bottom market” sebagaimana digagas Prahalad (2002) untuk memerdekakan kaum miskin. Sebab pembuatan, distribusi dan sistem perdagangan uang kertas dan logam mahal.
Kemampuan teknologi mengikis peran middleman dan fixed aset, terbukti berlaku dalam banyak sektor termasuk perbankan. Kantor pun berubah menjadi platform. Dan tatkala bank-bank konvensional mengkampanyekan branding untuk membidik nasabah prioritas, fintech dibuka untuk menciptakan pasar-pasar baru di bawah.
Gagasan OJK tentang inklusi keuangan yang selama bertahun-tahun didengungkan barangkali baru bisa dijawab melalui kekuatan disruptif dari fintech.
Namun saat meneropong cara kerja para pelaku fintech di tanah air, saya cukup terganggu. Saya menemukan hampir semua pelaku usaha yang mendaftarkan diri sebagai fintech masih mengenakan beban bunga yang jauh di atas rata-rata bank. Bahkan ada yang bunganya 0,95 persen per hari, 15 persen per 25 minggu atau 30 persen per 50 minggu.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanDapatkan informasi dan insight pilihan redaksi Kompas.com
Daftarkan EmailPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.