Kalau diibaratkan fauna, maka perusahaan konvensional itu adalah gajah: Ia besar, kokoh, berwibawa, namun sudah sulit diajak menari.
Begitulah bank-bank konvensional. Tak berbeda dengan perusahaan manufaktur yang sudah lebih dari 25 tahun atau hotel-hotel branded, airlines bintang lima, retail atau taksi konvensional dalam mengahadapi era disrupsi. Semua kini dituntut bertransformasi.
Maka menjadi menarik bagaimana insan-insan perbankan mendisrupsi diri, dengan lebih tiga juta pegawai dan 32.285 kantor cabang. Sebanyak 138 bank konvensional kini berhadapan dengan 65 fintech (yang terdaftar di OJK), dan diprediksi menjadi 164 pada akhir 2018.
Fintech atau Techfin
Sampai akhir abad 20, bahkan saat Christensen menulis teori disruption (1997), business model bank di seluruh dunia masih sama.
Singkat kata, core system perbankan konvensional dikelola dan dikendalikan internal dan menjadi kekuatan tradisi bank itu sendiri. Data dan sistemnya dikembangkan sendiri.
Bank menerima titipan uang dari nasabah, lalu diputar melalui usaha-usaha perbankan. Bank memberi pinjaman dan memungut jaminan serta biaya. Bank-bank konvensional memiliki dan mengelola aset.
Namun sejak dunia mengenal internet, yang bisa dipakai untuk kegiatan komersial (web 2.0), muncullah cara-cara baru. Semua orang bisa berjejaring tanpa kantor, tanpa jaminan, tanpa aset. Saya ingin menggaris bawahi, cara-cara baru, bukan sekedar menggunakan teknologi.
Tentu saja teknologi mengubah fondasi kehidupan dan konsumsi. Terjadi shifting.
Maka pada awal abad 21, “gajah-gajah besar”, itu mulai dikerubungi burung-burung kecil. Mereka mengambil bisnis dari elemen-elemen perbankan semisal remitansi, kredit perumahan, sampai alat pembayaran. Merekalah fintech 1.0 yang hidup dari melemahnya daya saing, dan unbundling perbankan.
Perlahan-lahan fintech 1.0 ini, menurut Skinner, berkembang menjadi besar dan mengubah pola perbankan namun mereka besar di luar bank konvensional dengan core system yang berbeda. Mereka melihat pasar dari kekuatan teknologi (AI, APIs, Analitics, VR, Cloud Computing, dan mobility).
Kekuatannya pun ada pada jaringan (mempertemukan) dan kemampuan mesin mendeteksi karakter dan kebutuhan nasabah. Wajar kalau mereka merajutnya ke dalam platform, bukan korporasi biasa.
Lantas bagaimana respons bank-bank besar? Pakar fintech, Chris Skinner (2018) mencatat, kehadiran fintech cukup mengkhawatirkan bank-bank tua. Pantaslah DBS dan Barclay misalnya merespon dengan cara-cara baru. Tetapi jalurnya bukan fintech, melainkan techfin.
Berbeda dengan cara lama yang tertutup, mereka lebih kolaboratif dan kooperatif dengan fintech maupun antarbank. Hanya saja core strength mereka tetap sama, yaitu fundamental perbankan.
Fokus techfin adalah perbaikan (improvement), bukan mendisrupsi diri. Mereka sendiri kesulitan beralih menjadi fintech yang inklusi dan low cost karena SDM maupun nasabah-nasabahnya terikat dengan kebiasaan-kebiasaan lama, dan resisten terhadap perubahan.