Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rhenald Kasali
Guru Besar Manajemen

Akademisi dan praktisi bisnis yang juga guru besar bidang Ilmu manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sejumlah buku telah dituliskannya antara lain Sembilan Fenomena Bisnis (1997), Change! (2005), Recode Your Change DNA (2007), Disruptions, Tommorow Is Today, Self Disruption dan The Great Shifting. Atas buku-buku yang ditulisnya, Rhenald Kasali mendapat penghargaan Writer of The Year 2018 dari Ikapi

Bank: Menjadi Fintech atau Cuma Techfin?

Kompas.com - 18/09/2018, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Kalau diibaratkan fauna, maka perusahaan konvensional itu adalah gajah: Ia besar, kokoh, berwibawa, namun sudah sulit diajak menari.

Begitulah bank-bank konvensional. Tak berbeda dengan perusahaan manufaktur yang sudah lebih dari 25 tahun atau hotel-hotel branded, airlines bintang lima, retail atau taksi konvensional dalam mengahadapi era disrupsi. Semua kini dituntut bertransformasi.

Maka menjadi menarik bagaimana insan-insan perbankan mendisrupsi diri, dengan lebih tiga juta pegawai dan 32.285 kantor cabang. Sebanyak 138 bank konvensional kini berhadapan dengan 65 fintech (yang terdaftar di OJK), dan diprediksi menjadi 164 pada akhir 2018.

Fintech atau Techfin

Sampai akhir abad 20, bahkan saat Christensen menulis teori disruption (1997), business model bank di seluruh dunia masih sama.

Singkat kata, core system perbankan konvensional dikelola dan dikendalikan internal dan menjadi kekuatan tradisi bank itu sendiri. Data dan sistemnya dikembangkan sendiri.

Bank menerima titipan uang dari nasabah, lalu diputar melalui usaha-usaha perbankan. Bank memberi pinjaman dan memungut jaminan serta biaya. Bank-bank konvensional memiliki dan mengelola aset.

Namun sejak dunia mengenal internet, yang bisa dipakai untuk kegiatan komersial (web 2.0), muncullah cara-cara baru. Semua orang bisa berjejaring tanpa kantor, tanpa jaminan, tanpa aset. Saya ingin menggaris bawahi, cara-cara baru, bukan sekedar menggunakan teknologi.

Tentu saja teknologi mengubah fondasi kehidupan dan konsumsi. Terjadi shifting.

Maka pada awal abad 21, “gajah-gajah besar”, itu mulai dikerubungi burung-burung kecil. Mereka mengambil bisnis dari elemen-elemen perbankan semisal remitansi, kredit perumahan, sampai alat pembayaran. Merekalah fintech 1.0 yang hidup dari melemahnya daya saing, dan unbundling perbankan.

Perlahan-lahan fintech 1.0 ini, menurut Skinner, berkembang menjadi besar dan mengubah pola perbankan namun mereka besar di luar bank konvensional dengan core system yang berbeda. Mereka melihat pasar dari kekuatan teknologi (AI, APIs, Analitics, VR, Cloud Computing, dan mobility).

Kekuatannya pun ada pada jaringan (mempertemukan) dan kemampuan mesin mendeteksi karakter dan kebutuhan nasabah. Wajar kalau mereka merajutnya ke dalam platform, bukan korporasi biasa.

Lantas bagaimana respons bank-bank besar? Pakar fintech, Chris Skinner (2018) mencatat, kehadiran fintech cukup mengkhawatirkan bank-bank tua. Pantaslah DBS dan Barclay misalnya merespon dengan cara-cara baru. Tetapi jalurnya bukan fintech, melainkan techfin.

Berbeda dengan cara lama yang tertutup, mereka lebih kolaboratif dan kooperatif dengan fintech maupun antarbank. Hanya saja core strength mereka tetap sama, yaitu fundamental perbankan.

Fokus techfin adalah perbaikan (improvement), bukan mendisrupsi diri. Mereka sendiri kesulitan beralih menjadi fintech yang inklusi dan low cost karena SDM maupun nasabah-nasabahnya terikat dengan kebiasaan-kebiasaan lama, dan resisten terhadap perubahan.

Inklusi Keuangan

Sebenarnya kehadiran fintech bisa kita harapkan untuk mendisrupsi sektor keuangan dengan melayani “the bottom market” sebagaimana digagas Prahalad (2002) untuk memerdekakan kaum miskin. Sebab pembuatan, distribusi dan sistem perdagangan uang kertas dan logam mahal.

Kemampuan teknologi mengikis peran middleman dan fixed aset, terbukti berlaku dalam banyak sektor termasuk perbankan. Kantor pun berubah menjadi platform. Dan tatkala bank-bank konvensional mengkampanyekan branding untuk membidik nasabah prioritas, fintech dibuka untuk menciptakan pasar-pasar baru di bawah.

Gagasan OJK tentang inklusi keuangan yang selama bertahun-tahun didengungkan barangkali baru bisa dijawab melalui kekuatan disruptif dari fintech.

Namun saat meneropong cara kerja para pelaku fintech di tanah air, saya cukup terganggu. Saya menemukan hampir semua pelaku usaha yang mendaftarkan diri sebagai fintech masih mengenakan beban bunga yang jauh di atas rata-rata bank. Bahkan ada yang bunganya 0,95 persen per hari, 15 persen per 25 minggu atau 30 persen per 50 minggu.

Ini berarti mereka telah menerapkan tarif premium dan sejatinya belum bisa kita sebut fintech.

Pertanyaannya, mengapa konsumen mau?

Sampai April 2018 fintech Indonesia telah berhasil melayani 1,47 juta nasabah peminjam dengan nilai Rp 5,42 triliun. Dan jawabannya adalah, mereka terdiri dari kelompok masyarakat konsumtif, yang memiliki dorongan keterdesakan yang tinggi untuk mengonsumsi sesuatu (umumnya gadget, atau pengeluaran gaya hidup), bukan investasi.

Proses yang cepat, tanpa jaminan dan mudah telah mendorong mereka memanfaatkan fasilitas ini. Namun sekali lagi ini bukanlah fintech yang dimaksud dalam disruption.

Akan menjadi lebih jelas lagi saat kita meneropong fintech Indonesia lebih dalam, ternyata hampir semuanya bekerjasama dengan perbankan konvensional. Artinya, masih mengandalkan dana-dana mahal dan belum bisa digunakan untuk memerankan inklusi keuangan.

Kalau sudah demikian, pertanyaanya, siapa yang akan menjalankan peran inklusi keuangan?

Menurut index keuangan inklusi internasional yang dikeluarkan oleh Bank Dunia (April 2018), baru 48,9 persen orang dewasa Indonesia yang memiliki akun bank. Jumlah ini naik pesat memang, dari era pemerintahan sebelumnya yang hanya mencapai 20 persen (2011).

Namun masih ada gap sebesar 50 persen. Kepada siapa lagi kita bisa berharap kalau bukan pada fintech yang benar-benar dirancang secara disruptif, low cost dan serba digital.

Tentu saja bagi perbankan konvensional kini muncul persoalan, tentang peta jalan masa depan baru yang perlu diambil. Lain kali saya akan membahasnya.

Namun perlu saya garis bawahi bahwa kini perbankan memiliki 3 pilihan: (1) Bertahan pada core strength yang sudah kita miliki namun pasarnya deminishing (menipis), (2) Melakukan pengembangan menjadi techfin, atau (3) merajut jalan baru melalui fintech yang inklusif dan low cost.

Apapun yang ditempuh, bank-bank yang kita kenal perlu mempersiapkan sebuah desain yang ambidextrous atau cerdas. Lain kali kita bahas lebih dalam. Selamat bertransformasi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com