Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Desmon Silitonga
Head Investment

Analis PT Capital Asset Management, alumnus Pascasarjana FE UI.

Becermin pada Krisis Nilai Tukar Turki

Kompas.com - 21/09/2018, 13:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Situasi makin tak kondusif karena pemilik dana di pasar keuangan Turki memberikan hukuman dengan menarik dana mereka secara beramai-ramai.

Pemilik dana telah mengingatkan bahwa Bank Sentral Turki (TCMB) tidak memiliki independensi. TCMB terlalu dikendalikan oleh pemerintah.

Indikasi ini dapat terlihat dari kebijakan TCBM yang tetap mempertahankan suku bunga, meski tekanan inflasi sudah terjadi.

TCMB tetap mempertahankan suku bunga rendah, seiring adanya intervensi dari Presiden Recep Tayyip Erdogan yang tetap menghendaki suku bunga rendah agar tidak menghambat masyarakat untuk mengakses kredit yang murah. Sehingga, bisa membuat perekonomian tetap tumbuh tinggi.

Masalahnya, mempertahankan suku bunga rendah juga bisa mendorong moral hazard peminjam dengan menggunakan kredit yang diterima bukan untuk tujuan produktif. Tetapi, untuk tujuan konsumtif yang tidak memberikan efek berganda pada perekonomian.

Dengan berbagai permasalah internal ekonomi Turki ini dan adanya sanksi ekonomi dari AS membuat kejatuhan lira tidak dapat dihindarkan.

Pengalaman Indonesia

Situasi yang terjadi di Turki mengingatkan kita pada apa yang pernah dialami oleh Indonesia pada tahun 1997/98.

Periode itu sering juga disebut dengan krisis moneter. Akar dari krisis ini dipicu oleh kejatuhan nilai tukar bath Thailand dan memicu efek penjalaran (contagion effect) pada Indonesia.   

Saat itu, kinerja perekonomian Indonesia juga cukup menjanjikan. Rata-rata pertumbuhan ekonomi mencapai 7 persen yang membuat sejumlah lembaga keuangan dunia memberikan pujian. Indonesia pun dijuluki sebagai "Macan Asia".

Sayangnya, pertumbuhan tinggi ekonomi itu tidak dibangun di atas fondasi yang kuat. Tingginya ketergantungan terhadap ULN, lemahnya tata kelola di sektor perbankan, tidak independennya bank sentral, dan buruknya tata kelola pemerintah yang tecermin dari merebaknya budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) menjadi masalah internal ekonomi Indonesia.

Ketika tekanan eksternal muncul, maka ambruklah fondasi yang lemah itu. Ekonomi Indonesia diterpa krisis.

Reminder

Pengalaman krisis itu menjadi momentum bagi Indonesia untuk melakukan perbaikan. Dan harus diakui, telah banyak perbaikan yang terjadi sejak krisis moneter itu.

Salah satunya adalah makin membaiknya kehati-hatian dalam pengelolaan sektor keuangan, khususnya perbankan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com