Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Desmon Silitonga
Head Investment

Analis PT Capital Asset Management, alumnus Pascasarjana FE UI.

Becermin pada Krisis Nilai Tukar Turki

Kompas.com - 21/09/2018, 13:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sektor ini harus dijaga dengan regulasi ketat karena inilah sektor yang menjadi jantung, sehingga aktivitas perekonomian bisa berdenyut.

Itulah sebabnya, ketika berbagai tekanan dan sentimen eksternal bermunculan, seperti krisis subprime mortgage (2008), krisis utang Eropa (2010), gejolak harga komoditas (2011), Taper Tantrum (2013), devaluasi nilai tukar yuan (2015), perekonomian Indonesia relatif bisa bertahan dan tidak menimbulkan dampak yang buruk bagi sektor riil, seperti yang terjadi pada 1997/98.

Meski begitu masih banyak pekerjaan rumah untuk memperkokoh fondasi ekonomi. Kita harus memberikan apresiasi pada pemerintah dalam empat tahun terakhir, khususnya dalam menjaga stabilitas inflasi, mengejar ketertinggalan infrastruktur, dan memperbaiki iklim investasi.

Meski begitu, masih banyak yang harus dibenahi. Lihat saja, ketika pemerintah ingin mendorong pertumbuhan ekonomi, defisit transaksi berjalan (DTB) langsung memburuk.

Pada kuartal II 2018, DTB kembali menembus level 3 persen terhadap PDB. Padahal, pada 2017, angkanya masih di bawah level 2 persen terhadap PDB.

Memburuknya DTB ini menunjukkan bahwa fondasi ekonomi masih rapuh. Belum ada kemajuan di berbagai sektor, khususnya sektor manufaktur untuk mengungkit daya saing ekonomi.

Bukan itu saja, sektor keuangan belum dalam membuat Indonesia masih tergantung pada pembiayaan eksternal, khususnya dari pembiayaan portofolio. Padahal, pembiayaan ini yang sangat rentan terimbas oleh sentimen dan ketidakpastian.

Fondasi ekonomi yang belum solid inilah yang membuat rupiah menjadi rentan bergejolak dan melemah. Harus diakui pula bahwa sejak 2000, nilai tukar rupiah memang cenderung melemah.

Untuk mengatasi pelemahan itu, kebijakan jangka pendek selalu menjadi solusi, seperti menaikkan suku bunga dan melakukan kebijakan pembatasan impor. Imbasnya bisa memberikan tekanan pada pertumbuhan ekonomi.

Semoga kejatuhan nilai tukar lira menjadi sebuah reminder bagi pemerintah Indonesia dan otoritas terkait untuk terus memperkokoh fondasi ekonomi.

Jika tidak, perekonomian Indonesia akan selalu rentan diterjang oleh ketidakpastian eksternal dan berimbas pada terganggunya stabilitas makroekonomi dan tertekannya kinerja pertumbuhan ekonomi. Akhirnya, kesejahteraan masyarakatlah yang menjadi taruhannya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com