Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Desmon Silitonga
Head Investment

Analis PT Capital Asset Management, alumnus Pascasarjana FE UI.

Becermin pada Krisis Nilai Tukar Turki

Kompas.com - 21/09/2018, 13:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PEREKONOMIAN Indonesia sedang dihadapkan pada tantangan yang tidak ringan. Dari sisi eksternal, berbagai risiko terus bermunculan.

Kita belum selesai disuguhi dengan perang dagang antara AS dengan sejumlah negara, khususnya China dan tekanan yang dialami oleh sejumlah negara di kawasan emerging. Salah satunya Turki.

Sebagaimana diketahui, pada pertegahan Agustus 2018, nilai tukar lira Turki terjerembab sebesar 16 persen terhadap nilai tukar dollar AS.

Ini merupakan pelemahan harian paling dalam dan membuat kinerja nilai tukar lira menjadi yang terburuk di antara nilai tukar di kawasan emerging.

Situasi ini membuat ekonomi Turki berada di ambang krisis. Jika tidak ditangani dengan serius dan komprehensif, bisa membuka ruang bagi terjadinya krisis ekonomi baru.

Harus diakui dengan keterbukaan ekonomi global, permasalahan ekonomi di satu negara bisa memicu penjalaran (contagion) terhadap ekonomi negara-negara lain.  

Harus diakui bahwa kejatuhan nilai tukar lira ini merupakan buah dari ketidakhati-hatian, khususnya dalam pengelolaan utang luar negeri (ULN).

Turki terlalu bergantung pada ULN, khususnya yang berasal dari negara-negara di Eropa. Turki memanfaatkan rendahnya tingkat suku bunga pinjaman di Eropa untuk terus mengakumulasi ULN.

Tidaklah mengherankan, pada tahun 2017, total ULN Turki (pemerintah dan Korporasi) menembus 453,2 miliar dollar AS. Nilai ULN meningkat dua kali lipat dibandingkan posisi ULN pada 2009.

ULN ini digunakan sebagai sumber pembiayaan ekonomi. Tidaklah mengherankan, pada kuartal I 2018, ekonomi Turki bisa tumbuh sebesar 7,4 persen (year on year/yoy). Bahkan, pada kuartal III 2017 sempat menyentuh level 11,3 persen (yoy).

Tidak banyak negara yang mampu mencapai pertumbuhan ekonomi setinggi ini, khususnya di tengah moderasi  pertumbuhan ekonomi global.

Namun, masalah mulai terjadi, yaitu ketika bank sentral di negara-negara maju, khususnya AS, mulai menaikkan suku bunga kebijakannya seiring dengan membaiknya kondisi perekonomian dan untuk mengantisipasi lonjakan inflasi.

Dana global balik kandang dan aliran dana keluar pun mulai berlangsung. Turki tidak bisa mengantisipasinya, karena terlalu terlena dengan ULN yang murah.

Turki pun tidak disiplin dalam menjaga kesehatan fiskal dan moneternya. Hal ini tecermin dari besarnya defisit transaksi berjalan (DTB).

Dalam sepuluh tahun terakhir, Turki setidaknya terus didera oleh DTB besar. Tidak ada perbaikan yang signifikan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com