Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat Sri Mulyani Bicara di Depan Milenial soal Inflasi hingga Rupiah

Kompas.com - 29/09/2018, 22:40 WIB
Ambaranie Nadia Kemala Movanita ,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Generasi milenial sangat melekat dengan ponsel pintar dan media sosial sehingga dengan mudah mendapat aliran informasi. Salah satunya mengenai kondisi perekonomian Indonesia saat ini. Jika tak pintar-pintar menyaring, maka akan tersesat pada informasi hoaks.

Di hadapan generasi milenial tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani memaparkan informasi yang kerap digoreng di media sosial mengenai inflasi dan pelemahan nilai tukar rupiah.

Sri Mulyani mengatakan, inflasi Indonesia saat ini masih di posisi cukup aman, yakni 3,2 persen. Menurut dia, seringkali orang mempersepsikan inflasi 3,2 persen berarti kenaikan harga hanya sekitar 3,2 persen. Inflasi dihitung dari seluruh aspek komoditas barang dan jasa yang jumlahnya ratusan.

"Jadi kalau beli nasi di warteg dari Rp 10.000 jadi Rp 12.000 diasumsikan naik 20 persen. Jadi pemerintah bohong? Ya tidak, karena yang dikonsumsi tidak cuma nasi itu, tapi banyak komoditas," ujar Sri Mulyani dalam acara Milenials Festival di Jakarta, Sabtu (29/9.2018).

Baca juga: BNPB Minta Rp 560 Miliar untuk Penanganan Gempa Sulteng, Sri Mulyani Langsung Proses

Sri Mulyani mengatakan, inflasi tahun ini termasuk rendah sepanjang sejarah. Di era pemerintahan Soeharto, inflasi bisa menjapai 7-9 persen.

Selain inflasi, hal lainnya yang paling sering diperdebatkan yaitu nilai tukar rupiah. Kurs rupiah sempat menyentuh level Rp 15.000 per dollar AS.

Sri Mulyani mengatakan, nilai tukar menggambarkan relatif harga antarnegara. Di Indonesia, inflasi pada angka 3,2 sementara di AS hanya 1,5 persen. Oleh karena itu, Indonesia harus membuat penyesuaian agar nilainya tetap stabil. Mau tak mau, rupiah melemahkan nilainya terhadap dollar AS.

Faktor kedua yakni persoalan permintaan dan persediaandollar AS itu sendiri. Di Indonesia saat ini permintaan dollar AS sedang tinggi karena impor sehingga nilainya pun juga tinggi.

"Demand dan supply-nya dari mana dollar itu? Pertama, dollar disuplai oleh kegiatan yang menghasilkan dollar kayak ekspor," kata Sri Mulyani.

Baca juga: Dana Talangan BPJS Kesehatan Sudah Cair, Ini Harapan Sri Mulyani

Namun, neraca perdagangan Indonesia terus defisit di mana impor jauh lebih banyak ketimbang ekspor. Aktivitas itulah yang membuat permintaan akan dollar AS meningkat.

"Jika demand lebih banyak di mana lebih banyak impor, maka dollar lebih mahal," kata dia.

Tahun lalu, neraca perdagangan defisit Rp 17 miliar dollar AS. Tahun ini, baru pada Juni 2019, current account defisit  (CAD) mencapai 13,5 miliar dollar AS.

Hingga akhir 2018, Bank Indonesia memperkirakan CAD mencapai 30 miliar dollar AS. Oleh karen aitu, pemerintah menyusun berbagai kebijakan untuk mendongkrak aliran dana dari luar negeri.

Salah satunya dengan mendorong perusahaan unicorn untuk bisa semenarik mungkin sehingga bisa memikat investor asing untuk berinvestasi.

Selain itu, dengan mengembangkan kawasan pariwisata dan mendorong kegiatan ekspor. Di sisi lain, mau tak mau, pemerintah melakukan pembatasan terhadap impor. Tahun lalu, kata Sri Mulyani, Indonesia berhasil menarik dan sebesar 30 miliar dollar AS.

"Itu menambah suplai dollar. Kalau lebih banyak suplainya, maka dollar stabil dan rupiah kita menguat sedikit," kata Sri Mulyani.

Jika pergerakan penyesuaian nilai tukar rupiah tidak terlalu fluktuatif kata Sri Mulyani, masyarakat tak perlu khawatir.

Menurut dia, penyesuaian dalam bisnis dengan menaikkan harga jual merupakan hal yang biasa. Asalkan, kenaikan harga tidak terllau jauh agar tak terjadi inflasi.

Di media sosial, banyak kritik masyarakat yang ingin rupiah menguat hingga di bawah Rp 10.000.

Menurut Sri Mulyani, penguatan rupiah tak melulu berdampak positif. Bagi eksportir, rupiah yang terlalu kuat akan membuat rugi karena 1 dollar AS yang sebelumnya Rp 14.000 turun menjadi Rp 10.000. Pendapatannya jadi berkurang.

Hal sebaliknya justru dirasakan importir, di mana mereka jadi untung banyak. Namun, dampaknya, importir akan terus menerus melakukan impor sehingga pola kembali berulang. Impor jauh melampaui ekspor, permintaan terhadap dollar AS bertambah, rupiah melemah, dan harga-harga kembali mahal.

"Price changing itu sebagai pengatur kegiatan ekonomi kita. Selama dia berubahnya smooth, semua bisa adjust, tidak masalah," kata Sri Mulyani.

"Pemerintah tugasnya menjaga supaya perubahan itu tidak menimbulkan distrubtion yang menimbulkan banyak korban," lanjut dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com