Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rhenald Kasali
Guru Besar Manajemen

Akademisi dan praktisi bisnis yang juga guru besar bidang Ilmu manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sejumlah buku telah dituliskannya antara lain Sembilan Fenomena Bisnis (1997), Change! (2005), Recode Your Change DNA (2007), Disruptions, Tommorow Is Today, Self Disruption dan The Great Shifting. Atas buku-buku yang ditulisnya, Rhenald Kasali mendapat penghargaan Writer of The Year 2018 dari Ikapi

Komunis dan Neolib Pun Terdisrupsi

Kompas.com - 30/09/2018, 06:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Peringatan G30S PKI hari ini mengingatkan saya kejadian di bawah ini. Apalagi satu dua sahabat masih ada yang ngotot keberadaan PKI.

Saya katakan, jangankan komunisme, liberalisme yang jadi pemenang sejarah dunia saja kini sudah bernasib sama seperti Kodak dan Nokia. Keduanya tergusur disrupsi.

Kawan-kawan saya tertawa terbahak-bahak. Isme-isme besar tergusur disrupsi? Saya lalu mengoleh-olehi mereka buku saya yang berjudul Tomorow Is Today, dan tak lupa saya buatkan buku-bukuan bergambar pernyataan mereka dan saya beri judul: Yesterday was Today. Pesan saya: Jangan hadapkan masa lalu dengan mereka yang sedang membangun hari esok.

Ah, lagi pula apa gunanya membesar-besarkan masa lalu yang sudah terkubur?

Bukankah lebih baik kita membincangkan kewirausahaan sosial dan sosok-sosok pejuang baru yang rela mengurus orang-orang kecil. Atau semisal mendiang Anthonius Gunawan Agung. Petugas Airnaf yang gugur setelah bertugas melepas Batik Air ke udara saat Palu dilanda gempa?

Tapi baiklah kita luruskan otot-otot di otak kita yang kadang keluar jalur akibat terlalu tegang.

Sirine Komunis

Ceritanya begini. Saat itu cuaca di tempat saya mengambil studi doktoral di Amerika Serikat tiba-tiba berubah menjadi windy (berangin). Langit gelap disertai gerimis dan hujan es batu. Sirine berbunyi menandakan datangnya badai tornado.

Kami pun berlari menuju basement di seberang gedung perpustakaan. Namun tiba-tiba Elizabeth, seorang kandidat PHD dalam ilmu matematika berteriak histeris: Komunis! Komunis!

Kami semua terhenyak. Bukannya tadi di kelas yang disponsori Ford Foundation sudah kita bahas bahwa komunisme sudah mati terkubur bersama robohnya tembok Berlin?

Setelah ancaman tornado berlalu, tinggallah kami mengulas hantu komunisme. Baik suara sirine di Amerika maupun kalender bertanggal 30 September di sini menjadi password untuk membuka memori perang dingin.

Apa gerangan yang membuat Elizabeth histeris berteriak komunis? Rupanya ini berawal dari perang dingin di tahun 1960an. Tak lama setelah Amerika Serikat memasang alat peluncur nuklir di Italia dan Turki untuk melindungi Eropa, yang dijawab Khrushchev dengan menempatkan rudal missilnya di Kuba, yang berjarak 90 miles dari Florida.

Sejak itu anak-anak sekolah di Amerika pun diprogram untuk segera lari mencari bunker atau basement bila mendengar suara alaram dan mereka selalu terbayang hantu komunis. Dalam dunia baru, selalu tinggallah kita yang selalu kacau dan kebingungan begitu mendapat password yang belum direset ulang

Isme-isme Terdisrupsi

Tentu tak banyak lagi warga Amerika yang belum move on atau memorinya belum di-reset seperti Elizabeth keluar dari ancaman konunisme. Sebagian yang lain juga terperangkap dalam isue liberalisme atau neoliberalisme.

Tetapi hidup di awal abad 21 ini memang membingungkan bagi sebagian orang. Memasuki abad 20 manusia lama memang hidup dengan ideologi. Bahkan tiga idelogi: fasisme, liberalisme dan komunisme. Lalu satu persatu tumbang menjadi obselete.

Fasisme gugur jelang perang dunia kedua, komunisme gugur di akhir perang dingin. Liberalisme gugur setelah jatuhnya Lehman Brothers.

Sejarawan Yuval Noah Harari (2018) mencatat, setelah memenangkan peperangan, manusia liberal juga kecewa terhadap liberalisme. Bahkan di negara paling liberal dan kaya sekalipun, kemiskinan dan kesulitan tetap ada.

Malahan sekarang, sejak krisis ekonomi 2008 tak ada lagi pemimpin barat yang berani mengatakan kepemimpinan ala China adalah salah. Padahal mereka dulu sangat memaksakan.

Di awal abad 21 ini liberalisme tersungkur oleh disrupsi teknologi. Algoritma melahirkan sistem keuangan dan perbankan baru, negara-negara liberal mulai dihantam ketakutannya sendiri.

Agenda liberalisme melalui globalisasi dilanjutkan dengan langkah proteksi dan perang dagang. Batas-batas negara mereka tutup kembali. Jadi liberalisme dan neoliberalisme pun tersungkur. Yang ada hanya tinggal manusia yang saling melabeli lawannya atau orang-orang yang sangat tak disukainya.

Bahkan negeri seperti Indonesia pun tak mungkin kita menjadi financial center yang begitu merdeka seperti Singapore atau Hongkong. Di sini, dana haji masih harus dikelola dengan nilai-nilai syariah dan keindonesiaan. Tak bisa dilipatgandakan menjadi produk keuangan derivatif yang liberal.

Bahkan properti pun tak bisa dimiliki asing sebebas yang dilakukan pemerintah Malaysia. Juga kita tak bisa menyerahkan harga BBM mengikuti mekanisme pasar seperti yang diinginkan sebagian politisi.

Negara kini memaksa hadir begitu mekanisme pasar mengalami gejala kegagalan meski diawali pertengkaran antara pemangku kepentingan.

Begitulah di awal abad 21 ini, manusia global membabat semua ideologinya. "Hidup dengan satu ideologi itu membuat manusia mantap, tetapi tanpa ideologi membuat mereka yang terbiasa berseberangan dalam ideologi menjadi gamang dan kebingungan. Apa yang mau dituduhkan hanya benar bagi dirinya sendiri saja," tulis Harari. Dan hasilnya adalah, sebuah gejala disorientasi atau dislokasi.

Sebabnya, ideologi adalah sebuah keyakinan. Dan keyakinan itu saling memaksakan. Bahkan anda yang bukan menganut ideologi "A" sekalipun dipaksa mengakui berideologi itu hanya karena orang lain ingin mengklaim dirinya "non A."

Seseorang dikatakan neolib, hanya untuk mengatakan "saya bukan." Lantas Anda apa? Bingung juga karena sesungguhnya apapun sudah terdisrupsi dengan hadirnya teknologi.

Tentu ada baiknya kita memahami disrupsi dari perspektif sejarah supaya bisa membaca betapa dirinya telah berubah menjadi sosok yang membingungkan hidup dalam zaman tanpa ideologi.

Namun hendaknya kita tempatkan dalam konteks yang lebih bijak.

Seperti yang saya kutip dari tadi apa yang disampaikan Yuval Noah Harari dalam sejarah tiga babak manusia: Perjalananan manusia menguasai alam, mengenal Tuhan, sampai peradabannya; Menuju masa depan; dan 21 Pelajaran baru.

Atau seperti Govindarajan yang membagi logika manusia ke dalam tiga kotak: the past, the present and the future.

Sambil menatap masalalu, Govin mengingatkan: Kepemimpinan itu adalah tentang masa depan, tetapi tidak untuk dilakukan besok. Melainkan hari ini. Dan teknologi, mohon maaf, sudah mengubah semuanya. Membunuh semua ilusi manusia, termasuk ilusi komunisme dan liberalisme.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com