Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
William Henley
Pendiri Indosterling Capital

Pendiri Indosterling Capital

Menyiasati Defisit Neraca Transaksi

Kompas.com - 10/10/2018, 12:54 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Latief

Langkah itu bertujuan meredam dua defisit sekaligus, yaitu defisit neraca transaksi berjalan dan defisit anggaran negara alias APBN. Terbukti, ketika itu defisit neraca transaksi berjalan bergerak turun dari 10,12 miliar dolar AS (kuartal II 2013) menjadi 8,64 miliar dolar AS (kuartal III 2013) dan 4,34 miliar dolar AS (kuartal IV 2013).

Sejalan dengan itu, nilai tukar rupiah pun membaik. Pada awal tahun rupiah berada pada kisaran Rp 9.600 per dolar AS, sementara pada pengujung tahun nilainya Rp 12.128 per dolar AS. Padahal sejumlah kalangan memproyeksi rupiah di pengujung tahun itu bisa menembus Rp 13.000 per dolar AS.

Berkaca dari dinamika yang terjadi pada 2013, sejumlah kalangan pun mengusulkan agar harga BBM dinaikkan. Tidak hanya Chatib Basri, melainkan juga para ekonom lain lintas lembaga hingga pengusaha nasional dari sejumlah asosiasi.

Jika didetailkan, usulan itu memiliki dalih yang sahih. BI menilai defisit neraca perdagangan adalah penyebab pelebaran defisit neraca transaksi berjalan. Selama periode April-Juni 2018, defisit perdagangan mencapai 1,33 miliar dolar AS.

Secara kumulatif, defisit itu dipicu impor minyak mentah dan hasil minyak sebesar 12,6 miliar dolar AS (data BPS). Nilai itu lebih tinggi dibandingkan defisit tahun lalu yang tercatat 10,3 miliar dolar AS. Kenaikan itu tak lepas dari pelemahan nilai tukar rupiah dan kenaikan harga minyak dunia.

Berbeda

Kendati demikian, ada opini berbeda, yakni kenaikan harga BBM bukan solusi tunggal untuk menekan defisit neraca transaksi berjalan. Kenaikan harga BBM juga tidak serta merta akan menurunkan konsumsi.

Mengapa demikian?

Sebab, konsumsi BBM bersubsidi justru menunjukkan tren penurunan dalam kurun waktu dua tahun belakangan. Pada Juli lalu, BPH Migas melaporkan realisasi penyaluran Premium hanya berada pada kisaran 9,2 juta kiloliter-10,25 juta kiloliter atau di bawah target 11,8 juta kiloliter.

Penurunan ini disebabkan masyarakat mulai beralih ke BBM nonsubsidi, baik yang dijual Pertamina maupun perusahaan migas asing macam Shell dan Total. Di sisi lain, pabrikan otomotif baik roda empat maupun roda dua pun mensyaratkan agar mesin kendaraan terbaru menggunakan bahan bakar minimal beroktan 92.

Selain itu, kenaikan harga BBM juga akan mengerek tingkat inflasi melalui kenaikan harga sejumlah barang. Semua saling terkait satu sama lain.

Konsekuensinya, Bank Indonesia (BI) juga harus menaikkan lagi suku bunga acuan demi meredam inflasi. Padahal, sepanjang tahun ini, BI sudah menaikkan suku bunga acuan sebesar 175 bps demi meredam tekanan eksternal.

Sebagaimana yang dipahami, kenaikan suku bunga acuan bakal berdampak ke kenaikan suku bunga kredit. Ujung-ujungnya, pertumbuhan ekonomi semakin tertekan. Sesuatu yang tidak diinginkan di tengah ketidakpastian ekonomi seperti sekarang.

Oleh karena itu, ada baiknya pemerintah lebih fokus pada implementasi deretan kebijakan yang sudah dikeluarkan demi menekan defisit neraca transaksi berjalan. Kebijakan-kebijakan itu antara lain implementasi B20, penaikan tarif pajak impor 1.147 barang, dan kebijakan-kebijakan lain.

Di atas kertas, kebijakan-kebijakan itu dapat menekan impor hingga 6 miliar dolar AS. Jumlah yang signifikan dalam penghitungan neraca perdagangan. Namun, yang jauh lebih penting adalah penerapan di lapangan.

Ambil contoh baru-baru ini, ada keluhan dari Pertamina perihal kesulitan bahan baku demi mengimplementasikan B20. Belum lagi keluhan dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki).

Intinya, keluhan-keluhan semacam ini harus segera diselesaikan pihak-pihak terkait. Jika berjalan mulus, tidak ada yang salah apabila kebijakan itu diperluas. Misalnya untuk pengenaan pajak impor, bisa menyasar barang-barang yang bernilai besar seperti baja atau komponen-komponen penunjang infrastruktur yang dapat diproduksi di dalam negeri.

Intinya, ini momen yang berbeda...

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com