"Jadi, jika konsumen memiliki pinjaman Rp 2 juta, namun kemudian mengalami kesulitan dalam pengembalian, maka maksimal nilai total pinjaman beserta biaya-biaya keseluruhan tidak boleh melebihi 100 persen dari nilai pokok atau prinsipalnya," ujar Aidil.
AFPI menyatakan, maraknya pemberitaan mengenai keluhan masyarakat terkait pinjaman online pun dianggap telah merusak citra industri yang sedang mereka bangun. Sementara, pihak-pihak yang melakukan pelanggaran bukanlah bagian dari anggota asosiasi atau pinjaman online yang telah terdaftar resmi di OJK.
"Mereka adalah penyelenggara pinjaman online ilegal. Jadi kalau ilegal ya melawan hukum, jangan sampai seperti ini merusak industri," ujar Sunu.
Sehingga, keberadaan fintech ilegal tak hanya merugikan masyarakat saja, tetapi juga industri secara keseluruhan. Selain itu, menurut Sunu banyaknya pengaduan terkait penyelenggaraan pinjaman online juga bisa berdampak pada semangat inklusi keuangan.
AFPI pun meminta masyarakat agar lebih berhati-hati dalam memilih fintech, serta membaca setiap ketentuan dan kondisi yang diberikan setiap kali melakukan pinjaman secara lebih jeli.
Selain itu, pihak asosiasi juga menyatakan siap untuk berkoordinasi dengan penegah hukum dan LBH Jakarta terkait kasus pengaduan ini. Selain itu, asosiasi juga menyatakan tengah berusaha untuk terus melakukan edukasi kepada masyarakat.
"Edukasi kami lakukan secara berkala, dan ke LBH Jakarta akan kami lakukan mediasi, yang pasti kami sudah koordinasi dengan penegak hukum," ujar Sunu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.