BrandzView
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan SKK Migas

Mengibaratkan “Gross Split” Migas dengan Sebuah Karung…

Kompas.com - 19/11/2018, 06:13 WIB
Haris Prahara,
Sri Noviyanti

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Menggenjot investasi hulu migas bukanlah pekerjaan mudah. Pemerintah pun mesti berpikir keras bagaimana membangkitkan kembali kejayaan sektor tersebut.

Terkait hal itu, pada 2017 lalu, pemerintah resmi menelurkan kebijakan perubahan skema cost recovery menjadi gross split. Melalui perubahan tersebut, diharapkan mampu menggenjot eksplorasi minyak dan gas (migas) yang berujung pada peningkatan investasi.

Adapun regulasi yang mengatur skema baru tersebut adalah Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil ”Gross Split”.

Meski telah bergulir beberapa waktu, sebagian masyarakat ada yang belum memahami betul penerapan skema gross split. Untuk memudahkannya, kita bisa mengambil perumpamaan sebuah karung hasil pertanian.

Pengandaian ini sebagaimana diungkapkan Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar, dan dilansir Kompas.com, Jumat (20/1/2017).

Menurut Arcandra, kita perlu mengibaratkan dahulu pemilik lahan sawah sebagai pemerintah. Sementara itu, penggarap lahan milik pemerintah tersebut adalah perusahaan migas kontraktor kontrak kerja sama (KKKS).

Baca jugaMengembalikan Predikat Raja Minyak di Tanah Air… 

Nah, sewaktu penggarap mengolah sawah, didapati hasil kotornya adalah 10 karung. Jika menggunakan skema cost recovery, semua biaya operasi beli bibit, perawatan, usir serangga, misalkan total biayanya habis lima karung, maka akan tersisa lima karung.

"Jika perjanjian cost recovery antara pemilik dengan pekerjanya itu 85 persen, maka KKKS mendapatkan 15 persen dari 5 karung pemilik lahan," ujar Arcandra.

Dari contoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa pembagian hasil cost recovery 85 persen itu dari produksi dikurangi biaya operasi. Bisa dibayangkan berapa besar porsi negara dibandingkan KKKS pada skema cost recovery.

Jika diperdebatkan, hal itu diyakini sulit mencapai titik temunya. Karena itulah, pemerintah memutuskan mengubah skema cost recovery menjadi gross split.

Dengan skema terbaru itu, sesuai regulasi, bagi minyak bumi, 57 persen untuk negara dan 43 persen untuk kontraktor. Sementara itu, untuk gas bumi, pembagiannya 52 persen ke negara serta 48 persen untuk kontraktor.

Arcandra menegaskan, perubahan skema gross split sama sekali tidak akan merugikan negara karena semua biayanya ditanggung KKKS.

Dari sisi KKKS, imbuh dia, juga akan timbul behaviour (perilaku) untuk mengeluarkan biaya seminimal mungkin.

"Kecenderungan seseorang itu, mereka akan berusaha mengeluarkan cost sehemat mungkin bila memakai biaya sendiri," katanya.

Hasil terlihat

Penerapan skema gross split tersebut terbukti manjur untuk mendongkrak investasi migas. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dari 10 blok migas yang dilelang pada 2017, lima blok mendapatkan pemenang.

Baca jugaBak Maraton, Konsumsi Minyak Indonesia Salip Produksi

Padahal, semasa lelang blok migas pada 2015 dan 2016 dengan skema cost recovery, tak ada satu pun yang berhasil laku.

Tak berhenti di sana, dengan skema gross split, penerimaan migas pada 2018 hingga semester I lebih tinggi 3,5 miliar dollar AS dibandingkan periode sama tahun lalu. Hal tersebut tentunya berdampak positif bagi keuangan negara.

Adapun Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi mengatakan, peningkatan investasi hulu migas, salah satunya dengan penerapan gross split, amatlah penting. Sebab, migas diyakini masih menjadi penopang utama kebutuhan energi Indonesia hingga puluhan tahun mendatang.

"Kami yakin industri migas akan tetap ada di Indonesia karena permintaan global yang terus meningkat. Industri menghadapi tantangan yang memaksa kita semua untuk menjadi kreatif dan inovatif dalam melakukan efisiensi untuk meningkatkan daya saing," ujar Amien, dikutip Kompas.com, Rabu (2/5/2018).


komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com