JAKARTA, KOMPAS.com - Harga minyak dunia turun hingga sentuh rekor harga terendah, seiring dengan dukungan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang menginginan harga emas hitam itu di level rendah.
Mengutip Bloomberg, Jumat (23/11/2018) waktu setempat, harga minyak WTI kontrak pengiriman Januari 2019 anjlok 7,7 persen ke posisi 50,42 dollar AS per barrel. Posisi ini merupakan yang terendah sejak Oktober 2017.
Analis Asia Trade Trade Points Futures Deddy Yusuf Siregar mengatakan, harga minyak semakin menurun karena Trump mendukung tindakan Arab Saudi yang belum memangkas produksi minyak.
Trump yang berharap harga minyak tetap rendah akan terus menggejot produksi dan cadangan minyak di AS sehingga oversupply minyak terjadi. Deddy mengatakan dengan harga minyak yang rendah maka Trump merasa kebijakan normalisasi suku bunga The Fed akan lebih lancar dan dapat mendukung perbaikan ekonomi di AS.
Baca juga: Harga Minyak Mentah Capai Titik Terendah sejak Oktober 2017
Senada, Analis Monex Investindo Futures, Putu Agus Pransuamitra mengatakan Trump yang senang bila harga minyak terus turun menyebabkan harga minyak masih tertekan.
"Kalau Trump menyatakan harga minyak lebih baik turun maka ia akan berusaha mempengaruhi OPEC untuk tidak memangkas produksi lagi, hal ini jadi sentimen negatif bagi harga minyak," kata Putu.
Oleh karena itu cadangan minyak dan produksi minyak di AS naik. Data dari Energy Information Administration (EIA) AS menunjukkan cadangan minyak komersiil AS naik hingga 4,9 juta barrel menjadi 446,91 juta barel di pekan lalu. Jumlah tersebut merupakan yang tertinggi sejak Desember tahun lalu.
Sedangkan, produksi minyak mentah AS juga masih berada di level rekor mencapai 11,7 juta barrel per hari. Deddy menambah lemahnya harga minyak juga dipengaruhi oleh meningkatnya kegiatan pengeboran minyak di AS yang jumlahnya mencapai 888 sumur aktif.
Harga minyak Deddy proyeksikan makin menurun karena EIA memperkirakan jumlah produksi minyak di AS bisa meningkat jadi 12 juta barrel hingga 13 juta barel setiap harinya di tahun depan.
Sementara, Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) memperkirakan permintaan minyak akan surut karena belum selesainya ketegangan perang dagang AS dan China yang menjadi sentimen negatif bagi pertumbuhan ekonomi global hingga tahun depan.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanDapatkan informasi dan insight pilihan redaksi Kompas.com
Daftarkan EmailPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.