Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cara Maskapai Penerbangan Murah agar Tetap Meraup Untung

Kompas.com - 26/11/2018, 14:33 WIB
Yoga Sukmana,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Maskapai bertarif murah atau low cost carrier (LCC) sangat populer di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Harga tiket penerbangan yang dijual begitu murah menjadi alasannya.

Bahkan di waktu-waktu tertentu, maskapai LCC kerap mengeluarkan promo-promo super murah. Bayangkan anda bisa terbang dari Jakarta ke Singapura hanya dengan Rp 100.000, gila bukan? Namun itulah realitasnya.

Meski menawarkan harga tiket murah, maskapai LCC toh masih bisa bertahan, bahkan profit di tengah bisnis penerbangan yang seketat saat ini.

Sementara itu beberapa maskapai full service yang syarat pengalaman, dengan harga jual tiket yang jauh lebih mahal dari LCC, justru "berdarah-darah" mengalami kesulitan keuangan.

Terlebih harga avtur juga mengalami kenaikan seiring melonjaknya harga minyak dunia.

Bisnis Hemat

Sejak kelahirannya, maskapai LCC memang sudah punya gen optimalisasi. Presiden Direktur Aviatory Indonesia Ziva Narendra mengatakan, bisnis model LCC saat ini terinspirasi dari maskapai Southwest Airline.

Maskapai LCC asal AS itu sudah jatuh bangun di bisnis maskapai puluhan tahun, namun bisa bertahan hingga saat ini.

"Southwest Airline adalah salah satu model LCC yang bertahan cukup lama jatuh bangun namun 20 tahun kemudian dipertengahan 1990-an, model LCC ini meginspirasi LCC lain," kata dia.

Agar tetap untung, maskapai LCC menggunakan strategi memangkas komponen biaya. Bahkan penghematan itu diakukan sejak pembelian pesawat.

Bukan hal aneh bisa mendengar maskapai LCC memborong puluhan bahkan ratusan pesawat dari pabrikan. Pembelian itu bagian dari strategi penghematan maskapai LCC.

Misalnya yang pada awal 2000-an, maskapai LCC terbesar di Eropa, Ryanair, memborong sekitar 150 pesawat B737 800 dari Boeing.Saat itu pemesanan Ryanair merupakan yang terbesar.

Namun keuntungan justru didapatkan dari kebijakan itu. Sebab maskapai asal Irlandia itu bisa menghemat hingga 40 juta dollar AS dari setiap pesawat.

"Harganya di katalognya 60 juta dollar AS satu pesawat. Dengan beli 150 harganya jadi 25 juta dollar AS, di bawah separuhnya. Bisa dibayangkan penghemaannya berapa itu kan?" ujar pengamat penerbangan Gerry Soejatman.

Tak cuma harga, pembelian pesawat dengan cara memborong juga biasanya diikuti dengan tawaran paket perawatan pesawat dengan biaya lebih murah dari pabrikan.

Dulu perawatan B737 800 bisa mencapai 1.200 dollar per jam, namun saat ini bisa hanya 600 dollar per jam untuk perawatan dengan standar yang terpenuhi.

Tawaran pabrikan itu tentu menggiurkan. Sebab maskapai LCC bisa kembali menghemat biaya tanpa mengorbankan standar perawatan.

Gerry mengatakan, sangat berisiko bila maskapai LCC harus memangkas biaya perawatan pesawat tanpa standar yang sama. Sebab hal itu bisa membuat pesawat tak layak terbang.

Padahal volume penumpang yang besar adalah kunci maskapai LCC untung. Oleh karena itulah pesawat harus selalu dalam keadaan siap terbang.

Selain itu maskapai LCC juga memangkas biaya pelayanan.

Namun untuk mendapatkan pemasukan, maskapai punya cara dengan menjual makanan.

Keuntungan tidak diambil dari setiap makanan yang dijual, namun dari pemesanan setahun. Dengan estimasi makanan setahun, maka maskapai LCC bisa mendapatkan diskon dari penyedia makanan.

Gerry mengatakan, maskapai LCC tidak melihat keuntungan dari satu kursi pesawat namun dari keseluruhan pesawat.

"Mereka bukan mikir satu kursi target 7.000-8.000 dollar per jam tetapi gimana caranya mau tiket digratiskan, mau diisi pakai kargo lah, mau jual iklan di pesawat lah, mau jual makananan di pesawatlah, itu strateginya mereka," kata dia

"Yang penting adalah kebutuhan kalayakan udara dan aspek safety lainnya terpenuhi. Karena mereka juga tahu, kalau itu mereka pangkas, habis mereka," sambung dia.

Keselamatan

Meski dengan model bisnis yang serba hemat, maskapai LCC tak lantas mengabaikan keselamatan. Sebab maskapai tahu, bila main-main dengan aspek keselamatan, maka ia akan habis.

Dari sisi penerbangan, Ketua  Umum Ikatan Pilot Indonesia Capt. Pilot Rama Noya memastikan bahwa seluruh persiapan sebelum terbang antara pilot maskapai full service maupun LCC sama saja. Sebab standar yang dipakai merupakan standar yang sama.

Sementara dari sisi bisnis, maskapai LCC saat ini tak akan memangkas biaya perawatan pesawat sehingga mengabaikan aspek keselamatan.

Saat maskapai LCC muncul awal tahun 1970-an, banyak yang mencoba memangkas biaya maintenance atau training. Namun tak ada yang tersisa saat ini

"Itu mati semua yang mencoba memangkas itu semua. Sekarang maskapainya sudah tumbang. Adapun yang bertahan itu adalah mereka yang tahu betul bahwa kalau kita pangkas terlalu banyak, bisa berpengaruh ke safety," kata Gery.

Oleh karena itu kata Gery, di luar apsek harga dan pelayanan, aspek lain termasuk keselamatan antara maskapai LCC dan full service tak ada bedanya.

Di dunia bisnis penerbangan, kehadiran maskapai LCC justru membuat persaingan menjadi kian ketat. Tanpa inovasi dan kreatifitas, bisnis maskapai akan tergerus bahkan tenggelam.

"LCC membuka dua hal baru yakni kuantitas dari sisi permintan dan keuntungan yang berkualitas. Sehingga maskapai harus pintar-pintar enggak hanya ngomong suplai dan demand," kata Ziva.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com