Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ridha Aditya Nugraha
Air and Space Law Studies, Universitas Prasetiya Mulya

Manajer Riset dan Kebijakan Air Power Centre of Indonesia, Jakarta. Anggota German Aviation Research Society, Berlin. Saat ini berkarya dengan mengembangkan hukum udara dan angkasa di Air and Space Law Studies - International Business Law Program, Universitas Prasetiya Mulya. Tenaga ahli sekaligus pemateri di Institute of Air and Space Law Aerohelp, Saint Petersburg. Sebelumnya sempat berkarya pada suatu maskapai penerbangan Uni Eropa yang berbasis di Schiphol, Amsterdam.

Potensi Kompensasi Tanpa Batas bagi Korban Lion Air JT-610

Kompas.com - 07/12/2018, 08:28 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Ahli waris tidak perlu risau seandainya menjumpai atau bahkan telah menandatangani klausul tersebut. Batal demi hukum (null and void) berarti hak keluarga korban untuk melakukan penuntutan ke pengadilan guna mendapatkan ganti kerugian tambahan diluar Rp 1,25 miliar tetap terjamin.

Tentunya kesengajaan dan kesalahan atau kelalaian maskapai penerbangan harus dibuktikan melalui forum pengadilan untuk memicu pecahnya batasan tersebut.

Dengan kata lain, keberadaan unsur kesalahan atau kelalaian maskapai penerbangan memungkinkan ahli waris mendapatkan kompensasi jauh lebih banyak seandainya korban selama sisa hidupnya ditaksir dapat menghasilkan lebih dari Rp 1,25 miliar. Hal ini tidak instan dan butuh perjuangan.

Mediasi layak dipertimbangkan mengingat pada umumnya besaran kompensasi tambahan dirahasiakan dari publik, bahkan diantara para ahli waris yang menggugat. Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 membuka kesempatan untuk skema ini.

Kemudian keluarga korban juga dapat menggugat ke Boeing selaku aircraft manufacturer. Langkah ini santer terdengar belakangan ini dan sudah ada beberapa yang menempuhnya.

Manufaktur pesawat sendiri juga tidak dapat lepas dari jeratan hukum. Berhubung Boeing merupakan perusahaan Amerika Serikat, maka mereka tidak dapat luput dari hukum nasionalnya seandainya terdapat cacat produk (manufacturing defect) yang mengakibatkan kecelakaan pesawat terjadi.

Alhasil, langkah terbaik bagi keluarga korban untuk mendapatkan kompensasi dari Boeing ialah melalui forum pengadilan Amerika Serikat.

Jika pada akhirnya pengadilan Amerika Serikat memutuskan Boeing bersalah, maka putusan ini dapat menjadi angin segar bagi Lion Air untuk membersihkan nama atas dugaan kesalahan atau kelalaian; terpenting menjadi amunisi agar batasan Rp 1,25 miliar per-penumpang tidak pecah.

Dalam skenario ini, ‘kompensasi tambahan’ akan diperoleh keluarga korban dari manufaktur pesawat. Keadaan tersebut juga akan menghidupkan asa bagi keluarga kru pesawat yang ditinggalkan guna memperoleh ‘kompensasi tambahan’ mengingat tidak dibedakan antara penumpang dan kru pesawat dalam konteks ini.

Akhir kata, perlu digarisbawahi bahwa kompensasi menurut Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 dan kompensasi dari manufaktur pesawat menurut hukum asing merupakan dua hal yang berbeda. Keluarga korban berhak memperoleh keduanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com