Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ridha Aditya Nugraha
Air and Space Law Studies, Universitas Prasetiya Mulya

Manajer Riset dan Kebijakan Air Power Centre of Indonesia, Jakarta. Anggota German Aviation Research Society, Berlin. Saat ini berkarya dengan mengembangkan hukum udara dan angkasa di Air and Space Law Studies - International Business Law Program, Universitas Prasetiya Mulya. Tenaga ahli sekaligus pemateri di Institute of Air and Space Law Aerohelp, Saint Petersburg. Sebelumnya sempat berkarya pada suatu maskapai penerbangan Uni Eropa yang berbasis di Schiphol, Amsterdam.

Potensi Kompensasi Tanpa Batas bagi Korban Lion Air JT-610

Kompas.com - 07/12/2018, 08:28 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini


BELUM hilang ingatan akan duka yang menyelimuti dunia penerbangan Indonesia. Beberapa waktu lalu penerbangan JT-610 jatuh di Perairan Karawang dengan menelan 189 korban jiwa.

Terlepas dari tragedi tersebut, dewasa ini moda transportasi udara merupakan salah satu yang teraman di dunia. Silakan bandingkan dengan jumlah kecelakaan moda transportasi darat beserta total korban jiwa pada mudik Lebaran kemarin yang hanya berlangsung belasan hari.

Dalam setiap kecelakaan pesawat, penumpang merupakan pihak dengan posisi terlemah. Jelas mereka tidak akan tahu sejauh mana maskapai memelihara armadanya; serta apakah manufaktur pesawat (aircraft manufacturer) layaknya Airbus dan Boeing memproduksi pesawat tanpa cacat (manufacturing defect).

Situasi tersebut mendorong rezim undang-undang penerbangan di dunia berupaya melindungi penumpang atau ahli warisnya semaksimal mungkin melalui kewajiban pemberian kompensasi seandainya kecelakaan pesawat terjadi.

Hal ini berlaku baik dalam konvensi internasional, yakni the Warsaw Convention 1929 dan the Montreal Convention 1999, maupun hukum nasional kita.

Pada kasus Lion Air JT-610, penerbangan tersebut merupakan penerbangan domestik mengingat rutenya menghubungkan dua titik dalam suatu negara. Maka hukum nasional hidup, tepatnya Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011, dan bukan konvensi internasional.

Dalam konteks penumpang meninggal dunia akibat kecelakaan pesawat, hukum nasional menyediakan Rp 1,25 miliar - tidak lebih tidak kurang - bagi ahli waris setiap penumpang.

Jaring pengaman ini bertujuan guna memastikan keluarga yang ditinggalkan dapat tetap hidup layak, apalagi jika korban merupakan tulang punggung keluarga (breadwinner).

Namun, tidak dipungkiri besaran tersebut berpotensi (sangat) kurang bagi ahli waris seandainya korban berpenghasilan tinggi.

Maskapai penerbangan sendiri tidak perlu khawatir serta tak akan rugi sepeserpun mengingat risiko tersebut sudah diasuransikan sebagaimana diwajibkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2009. Lion Air hanya perlu mengklaim asuransinya agar pemberian kompensasi dapat segera dilakukan.

Pecahnya batasan Rp 1,25 miliar

Keberadaan ambang batas (limit) 1,25 miliar Rupiah hadir guna melindungi maskapai penerbangan. Dunia penerbangan tidak dapat berkembang optimal dibawah tekanan berlebih; sementara perkembangan dan ekspansi maskapai penerbangan penting guna menciptakan jembatan udara Nusantara yang kokoh.

Satu hal yang perlu digarisbawahi ialah keberadaan ambang batas Rp 1,25 miliar tidak berlaku seandainya kecelakaan terjadi akibat kelalaian atau kesalahan maskapai penerbangan.

Pasal 141 ayat (2) Undang-Undang Penerbangan menyebutkan bahwa maskapai penerbangan tidak dapat membatasi tanggung jawabnya seandainya kecelakaan terjadi akibat tindakan sengaja dan kesalahan atau kelalaian mereka.

Penafsiran lanjutannya ialah angka Rp 1,25 miliar belum tentu final. Kemudian keberadaan klausul release and discharge, bahwa ahli waris tidak akan menggugat maskapai penerbangan beserta para pihak terkait lainnya setelah menerima kompensasi 1,25 miliar Rupiah, adalah batal demi hukum (null and void) alias tidak berlaku.

Seringkali awam sulit membedakan secarik kertas antara bukti penerimaan uang kompensasi dan persetujuan terhadap klausul release and discharge. Pasal 141 ayat (2) Undang-Undang Penerbangan hadir untuk melindungi keluarga korban.

Ahli waris tidak perlu risau seandainya menjumpai atau bahkan telah menandatangani klausul tersebut. Batal demi hukum (null and void) berarti hak keluarga korban untuk melakukan penuntutan ke pengadilan guna mendapatkan ganti kerugian tambahan diluar Rp 1,25 miliar tetap terjamin.

Tentunya kesengajaan dan kesalahan atau kelalaian maskapai penerbangan harus dibuktikan melalui forum pengadilan untuk memicu pecahnya batasan tersebut.

Dengan kata lain, keberadaan unsur kesalahan atau kelalaian maskapai penerbangan memungkinkan ahli waris mendapatkan kompensasi jauh lebih banyak seandainya korban selama sisa hidupnya ditaksir dapat menghasilkan lebih dari Rp 1,25 miliar. Hal ini tidak instan dan butuh perjuangan.

Mediasi layak dipertimbangkan mengingat pada umumnya besaran kompensasi tambahan dirahasiakan dari publik, bahkan diantara para ahli waris yang menggugat. Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 membuka kesempatan untuk skema ini.

Ekor dan sayap pesawat generasi terbaru Boeing 737 MAX 8 mendarat di Boeing Field seusai menyelesaikan terbang pertamanya di Seattle Washington, Amerika Serikat, 29 Januari 2016. Pesawat ini merupakan seri terbaru dan populer dengan fitur mesin hemat bahan bakar dan desain sayap yang diperbaharui.AFP PHOTO/GETTY IMAGES/STEPHEN BRASHEAR Ekor dan sayap pesawat generasi terbaru Boeing 737 MAX 8 mendarat di Boeing Field seusai menyelesaikan terbang pertamanya di Seattle Washington, Amerika Serikat, 29 Januari 2016. Pesawat ini merupakan seri terbaru dan populer dengan fitur mesin hemat bahan bakar dan desain sayap yang diperbaharui.

Kemudian keluarga korban juga dapat menggugat ke Boeing selaku aircraft manufacturer. Langkah ini santer terdengar belakangan ini dan sudah ada beberapa yang menempuhnya.

Manufaktur pesawat sendiri juga tidak dapat lepas dari jeratan hukum. Berhubung Boeing merupakan perusahaan Amerika Serikat, maka mereka tidak dapat luput dari hukum nasionalnya seandainya terdapat cacat produk (manufacturing defect) yang mengakibatkan kecelakaan pesawat terjadi.

Alhasil, langkah terbaik bagi keluarga korban untuk mendapatkan kompensasi dari Boeing ialah melalui forum pengadilan Amerika Serikat.

Jika pada akhirnya pengadilan Amerika Serikat memutuskan Boeing bersalah, maka putusan ini dapat menjadi angin segar bagi Lion Air untuk membersihkan nama atas dugaan kesalahan atau kelalaian; terpenting menjadi amunisi agar batasan Rp 1,25 miliar per-penumpang tidak pecah.

Dalam skenario ini, ‘kompensasi tambahan’ akan diperoleh keluarga korban dari manufaktur pesawat. Keadaan tersebut juga akan menghidupkan asa bagi keluarga kru pesawat yang ditinggalkan guna memperoleh ‘kompensasi tambahan’ mengingat tidak dibedakan antara penumpang dan kru pesawat dalam konteks ini.

Akhir kata, perlu digarisbawahi bahwa kompensasi menurut Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 dan kompensasi dari manufaktur pesawat menurut hukum asing merupakan dua hal yang berbeda. Keluarga korban berhak memperoleh keduanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com