Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mahendra K Datu
Pekerja corporate research

Pekerja corporate research. Aktivitas penelitiannya mencakup Asia Tenggara. Sejak kembali ke tanah air pada 2003 setelah 10 tahun meninggalkan Indonesia, Mahendra mulai menekuni training korporat untuk bidang Sales, Marketing, Communication, Strategic Management, Competititve Inteligent, dan Negotiation, serta Personal Development.

Futurism #2: Butterfly Effect

Kompas.com - 09/12/2018, 19:34 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Apakah tikus itu harus bertanggungjawab atas dipecatnya si pemilik kantong kertas dari perusahaannya?

Bisakah, dalam konteks yang lebih ekstrem, suami dan istri bercerai gara-gara seekor tikus makan remah-remah?

Atau, seorang manajer perusahaan dipecat karena gagang sapu?

Hal sederhana yang memicu terobosan besar

Dalam tulisan saya sebelumnya mengenai Futurism: Economy of Faith and Hope telah sedikit disinggung mengenai bagaimana kita menghubungkan titik-titik di masa lampau, memahami polanya, dan memprediksikan probabilitas yang akan terjadi di masa depan.

Tulisan kali ini lebih teknis. Soal logika. Mungkin orang-orang IT akan menyebutnya dengan ‘algoritma’.
 
Futurism di dalam esensinya adalah proses belajar menciptakan ‘suatu produk’ dalam imajinasi.

Namun begitu, imajinasi bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Ia lahir dari percikan-percikan pengalaman dan permenungan masa lampau.
 
Ungkapan Lorenz yang menyatakan bahwa kepakan sayap kupu-kupu, secara teori, sangat mungkin menjadi badai di belahan dunia lainnya, adalah refleksi dari probabilitas dalam Futurism.

Dengan kata lain, hal-hal sederhana yang menjadi serentetan kejadian (series of events) di masa lampau akan melahirkan terobosan besar dalam imajinasi dan pemikiran-pemikiran yang pada akhirnya bermuara ke suatu ‘produk final’ di dalam benak.

Produk final ini tinggal menunggu waktu yang tepat, sumber daya yang tepat, dan lingkungan yang tepat untuk meledak dalam dunia nyata. Oh ya, lingkungan yang dimaksud termasuk soal regulasi.

Futurism dan Inovasi

Beberapa simulasi yang dilakukan dalam proses inovasi bisnis dan produk sering mengacu pada hal-hal tadi. Nasihat terbaik untuk berinovasi dan memikirkan terobosan masa depan adalah dengan melihat apa yang kurang dari titik-titik event masa lampau.

Bila terobosan tersebut mampu mengisi setiap kekurangan di masa lampau, maka peluang untuk berhasilnya produk inovasi tersebut sangat tinggi. Bukan sekadar ada dan ‘fashionable’ atau keren, tetapi ada untuk suatu alasan yang belum terjawab di masa lampau.

Sekali lagi, hukum kausalitas berlaku.

Saat saya melihat pisau lipat Victorinox buatan Swiss misalnya, saya melihat mahakarya yang pada jamannya mungkin dicibiri. Bagi saya, pisau lipat itu adalah contoh disrupsi pertama saat revolusi industri sedang bertransformasi dari 2.0 menuju 3.0.

Ini adalah penemuan yang lebih spektakular ketimbang revolusi digital saat ini, karena pisau lipat itu adalah produk yang secara akurat menjawab kekosongan dari titik-titik di masa lampau untuk kebutuhan peralatan sehari-hari yang praktis, multiguna, dan tentu saja keren.

Cara anda memahami pisau lipat ini, jangan lihat apa yang bisa ia lakukan di masa depan, tetapi bagaimana awal mulanya sehingga ia lahir dan diciptakan.

 

Cara yang sama akan Anda pakai untuk melihat bagaimana akhirnya lahir perusahaan-perusahaan berbasis teknologi digital seperti Amazon, PayPall, Uber dan AirBnB. Keempat perusahaan itu telah direplikasi ratusan kali di seluruh dunia. Replikasi itu, meminjam istilah Lorenz, adalah tornadonya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com