Secara teori, harga obligasi ditentukan oleh perubahan suku bunga. Jika suku bunga naik, maka harga obligasi akan turun dan sebaliknya.
Di Indonesia, 2 faktor utama yang menentukan perubahan tingkat suku bunga adalah inflasi dan nilai tukar. Dalam beberapa tahun terakhir, tingkat inflasi selalu rendah dan stabil serta masuk dalam target pemerintah di level 3,5 persen plus minus 1. Yang di luar dugaan adalah nilai tukarnya.
Untuk tahun 2018, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS menyebabkan kenaikan BI Rate. Sesuai dengan teori, kenaikan BI Rate membuat harga obligasi dan reksa dana pendapatan tetap yang berinvestasi pada obligasi mengalami penurunan.
Untuk tahun 2019, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS diproyeksikan akan menguat di sekitar Rp 14.200an karena perubahan kebijakan suku bunga bank sentral AS. Dengan asumsi inflasi 2019 tetap terkendali di 3,5 persen plus minus 1, maka BI Rate di tahun 2019 berpeluang untuk naik hanya 1 kali, tetap atau bahkan turun pada akhir tahun.
Skenario ini, apabila terjadi, akan memberikan efek positif bagi harga obligasi pemerintah dan reksa dana yang berinvestasi pada obligasi pemerintah seperti reksa dana pendapatan tetap.
Untuk itu, tahun 2019 seharusnya akan menjadi tahun yang bagus untuk investasi di obligasi pemerintah dan reksa dana pendapatan tetap berbasis obligasi karena kemungkinan terjadinya penurunan harga lebih kecil.
Entah kebetulan atau tidak, setiap tahun politik di Indonesia, biasanya kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menunjukkan pertumbuhan yang positif. Sebagai referensi, kinerja IHSG pada tahun 1999 naik sebesar 70,06 persen, tahun 2004 naik sebesar 44,56 persen, tahun 2009 naik sebesar 86,98 persen dan terakhir tahun 2014 naik sebesar naik 22,29 persen.
Sistem pemilihan secara serentak untuk Presiden dan DPR merupakan terobosan yang sangat bagus dalam demokrasi karena menghemat waktu konsolidasi politik. Sebab Presiden dipilih bersama dengan partai pendukungnya dalam satu paket.
Presiden yang didukung oleh DPR akan memberikan wewenang yang lebih kepada Presiden dalam pemilihan posisi menteri sehingga eksekusi program dapat dilakukan lebih cepat.
Sepanjang pemilihan berjalan aman, damai dan lancar, siapapun pemenangnya baik petahana maupun penantang, tidak berdampak negatif terhadap perkembangan investasi di pasar modal.
Untuk fundamental sendiri, walaupun di tengah isu pelemahan nilai tukar dollar AS dan kenaikan harga minyak, laporan keuangan perusahaan hingga kuartal III tahun 2018 sejauh ini masih cukup bagus. Penjualan dan laba bersih masih tetap tumbuh.
Penurunan harga yang terjadi selama 2018 akan membuat valuasi saham menjadi semakin menarik baik bagi investor lokal ataupun investor asing. Aliran dana asing yang keluar secara massif dari pasar saham Indonesia sejak 2 tahun terakhir juga sudah berangsur-angsur masuk.
Selain kebijakan yang bersifat populis seperti penentuan tarif BBM dan listrik, pemerintah juga mulai mengambil kebijakan yang berdampak positif ke perekonomian seperti upaya peningkatan sektor properti. Mulai dari pelonggaran ketentuan Loan to Value (LTV atau DP rumah), percepatan pembayaran ke kontraktor, hingga PPnBM untuk properti mewah yang dinaikkan dari Rp 20 miliar menjadi Rp 30 miliar.
Sektor properti merupakan sektor yang banyak turunannya dan berimplikasi positif bagi banyak sektor lain mulai dari bahan bangunan, kontraktor, furniture, pembangunan infrastruktur pendukung, agen properti, kredit dari perbankan dan penyerapan tenaga kerjanya.
Dengan kondisi di atas, perkiraan harga wajar IHSG pada tahun 2019 adalah di level 7.200. Sebagai instrumen yang high risk high return, pergerakan IHSG dan reksa dana saham akan tetap berfluktuasi. Investor perlu memahami risiko tersebut sebelum berinvestasi.
Demikian artikel ini, semoga bermanfaat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.