Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kaleidoskop 2018: 5 Fakta Jatuhnya Pesawat Lion Air JT 610

Kompas.com - 24/12/2018, 14:32 WIB
Akhdi Martin Pratama,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Dunia penerbangan Indonesia kembali berduka di tahun 2018. Pesawat Lion Air dengan nomor registrasi JT 610 terjatuh di perairan Karawang, Jawa Barat pada Senin (29/10/2018) pagi.

Pesawat dengan rute Jakarta-Pangkal Pinang itu mengangkut 189 orang. Berdasarkan catatan manifest, 181 merupakan penumpang yang terdiri atas 124 laki-laki, 54 perempuan, satu anak-anak, dan dua bayi. Sementara itu, tujuh orang sisanya merupakan pilot, kopilot, dan lima awak kabin.

Pesawat yang jatuh itu berjenis Boeing 737 max 8 buatan tahun 2018. Lion Air sendiri baru mengoperasikan pesawat itu pada 15 Agustus 2018. Pesawat ini kurang lebih memiliki 800 jam terbang.

Berikut fakta-fakta yang dihimpun Kompas.com terkait peristiwa nahas tersebut:

1. Kronologi Kecelakaan

Pesawat Lion Air JT 610 take off dari Bandara Soekarno Hatta sekitar pukul 06.20 WIB. Rencananya, pesawat itu tiba di Bandara Depati Amir Pangkal Pinang pada 07.20 WIB.

Namun, baru dua menit mengudara atau tepatnya pada pukul 06.22 WIB Pilot menghubungi Jakarta Control dan menyampaikan masalah flight control di ketinggian 1.700 feet. Pilot meminta naik ke ketinggian 5.000 feet. Jakarta Control mengizinkannya pesawat untuk naik ke 5.000 feet.

Pada pukul 06.31 WIB, pilot pesawat tiba-tiba meminta kepada air traffic control (ATC) kembali ke Bandara Soetta untuk return to base. Dua menit berselang pesawat lost of contact dari radar. Catatan terakhir sebelum hilang kontak, pesawat berada di ketinggian 2.500 feet.

Selanjutnya, pada pukul 06.50 WIB Basarnas menerima laporan air traffic control bahwa JT 610 lost contact. Setelah dikonfirmasi, Basarnas mengirim tim ke lokasi hilang kontak.

2. Pencarian Korban

Pemerintah langsung bergerak cepat usai menerima kabar pesawat Lion Air JT 610 terjatuh. Proses pencarian korban dilakukan sejak 29 Oktober hingga akhirnya dihentikan pada 23 November 2018.

Selama 24 hari masa pencarian, hanya 125 jasad korban yang berhasil diidentifikasi. Sedangkan 64 korban tak teridentifikasi lantaran tidak ditemukan jasadnya atau bagian tubuh saat proses pencarian dan evakuasi berlangsung. 

"Seluruh tahapan operasi DVI (Disaster Victim Identification) terhadap korban penumpang jatuhnya pesawat Lion dengan resmi saya nyatakan ditutup," kata Kepala Pusat Kedokteran dan Kesehatan Brigjen (Pol) Arthur Tampi di RS Polri, Kramatjati, Jakarta Timur, Jumat (23/11/2018).

3. Pencarian Black Box

Dalam sebuah black box pesawat terdapat dua komponen, yakni Flight Data Recorder (FDR) dan Cockpit Voice Recorder (CVR).

FDR berisi data 25 jam terakhir perjalanan pesawat, berupa ketinggian, kecepatan, hingga arah pesawat. Sedangkan CVR berisi rekaman percakapan pilot dan kopilot dengan pusat kendali di darat.

Pada peristiwa kecelakaan ini, KNKT baru menemukan FDR pada Kamis (1/11/2018) lalu. Sedangkan, CVR-nya hingga kini belum diketahui keberadaanya.

Berdasarkan data yang didapat KNKT dari FDR pesawat JT 610 menunjukkan bahwa terdapat kerusakan penunjuk kecepatan (air speed indicator) pada empat penerbangan terakhir Lion Air JT-610. 

Menurut invesitigasi KNKT, pada penerbangan dari Denpasar ke Jakarta, tercatat adanya perbedaan angle of attack (AOA) atau indikator penunjuk sikap pesawat terhadap arah aliran udara.

Tercatat ada perbedaan sensor AOA pada pilot dan kopilot. Akibatnya, penunjuk kecepatan di pesawat menjadi tidak akurat.

“Pada penerbangan dari Denpasar ke Jakarta muncul perbedaan penunjukan AOA, yang mana AOA sebelah kiri berbeda atau lebih 20 derajat dibanding sebelah kanan," ujar Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono di gedung KNKT, Jakarta, Rabu (7/11/2018).

Atas dasar itu, KNKT menyatakan, pesawat Lion Air PK-LQP sudah tidak layak terbang saat menempuh rute dari Denpasar ke Jakarta, 28 Oktober 2019.

"Menurut pandangan kami, yang terjadi itu pesawat sudah tidak layak terbang," kata Ketua Subkomite Investigasi Kecelakaan Penerbangan KNKT Nurcahyo Utomo saat merilis temuan awal jatuhnya pesawat, di Kantor KNKT, Gambir, Jakarta Pusat, Rabu (28/11/2018).

Nurcahyo menjelaskan, flight data recorder (FDR) mencatat adanya stick shaker aktif sesaat sebelum penerbangan hingga selama penerbangan. 

Pada ketinggian sekitar 400 kaki, pilot menyadari adanya peringatan kecepatan berubah-ubah pada primary flight display (PFD). 

Hidung pesawat PK-LQP mengalami penurunan secara otomatis. Karena penurunan otomatis itu, kopilot kemudian mengambil alih penerbangan secara manual sampai dengan mendarat.

"Menurut pendapat kami, Seharusnya penerbangan itu tidak dilanjutkan," kata Nurcahyo.

Pesawat Lion Air PK-LQP mendarat di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta sekitar pukul 22.56 WIB setelah terbang selama 1 jam 36 menit. 

Setelah pesawat parkir, pilot melaporkan permasalahan pesawat udara kepada teknisi.

Besok paginya, pesawat dengan jenis Boeing 737-8 (MAX) itu kembali diterbangkan dari Jakarta ke Pangkal Pinang dengan nomor JT 610.

Pesawat yang membawa sekitar 189 penumpang dan kru ini lalu jatuh di perairan Karawang sekitar 13 menit setelah lepas landas.

Nurcahyo mengatakan, temuan yang disampaikan KNKT hari ini merupakan laporan awal, yakni laporan yang didapat setelah 30 hari setelah kejadian kecelakaan. Laporan ini bukan merupakan kesimpulan tentang kecelakaan.

Namun, pernyataan itu langsung dibantah Presiden Direktur Lion Air Grup Edward Sirait mengatakan, dalam pemberitaan yang muncul disebutkan bahwa pesawat PK-LQP saat menempuh rute dari Denpasar ke Jakarta 28 Oktober 2019 malam,  atau sehari sebelum jatuhnya pesawat tersebut di perairan Karawang.

"Pernyataan ini menurut kami tidak benar," ujar Edward dalam konferensi pers, Jakarta, Rabu (28/11/2018).

"Pesawat itu dari Denpasar dirilis dan dinyatakan layak terbang seusai dokumen dan apa yang sudah dilakukan oleh teknisi kami," sambung dia.

Akhirnya, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) memberikan klarifikasi atas sejumlah pemberitaan yang menyebut pesawat Lion Air PK-LQP tak layak terbang sejak dari Denpasar ke Jakarta.

"Pesawat Lion Air Boeing B 737-8 (MAX) registrasi PK-LQP dalam kondisi laik terbang saat berangkat dari Denpasar Bali dengan nomor penerbangan JT 043, dan pada saat dari Jakarta dengan nomer penerbangan JT 610," ujar Ketua Subkomite Investigasi Kecelakaan Penerbangan KNKT Nurcahyo Utomo dalam siaran pers, Jakarta, Kamis (29/11/2018).

Nurcahyo mengatakan, menurut peraturan di Indonesia, pesawat dinyatakan laik terbang jika Aircraft Flight Maintenance Log (AFML) telah ditandatangani oleh engineer (releaseman).

Tanggapannya, bila ada masalah, pilot akan melaporkan persoalan itu setelah mendarat. Kemudian engineer melakukan perbaikan dan disusul dengan pengujian.

Setelah hasilnya tepat, engineer akan menandatangani AFML. Pesawat pun dinyatakan layak terbang.

"Salah satu kondisi yang menyebabkan kelaikudaraan (airworthiness) berakhir pada saat terbang megalami gangguan. Keputusan untuk memulai atau segera mendarat ada di tangan pilot in command (Kapten)," kata dia.

4. Keluarga Korban Gugat Boeing

Total 25 keluarga korban jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 registrasi PK-LQP resmi menggugat perusahaan Boeing di Amerika Serikat.

Boeing adalah perusahaan yang memproduksi pesawat Boeing 737 MAX 8 dan dipakai oleh Lion Air yang kemudian mengalami kecelakaan hingga terjatuh di perairan Tanjung Karawang, Jawa Barat.

Kuasa hukum dari Ribbeck Law Chartered, Manuel von Ribbeck mengatakan, awalnya hanya ada satu keluarga dari penumpang atas nama Rio Nanda Pratama yang berani menggugat perusahaan Boeing. Gugatan itu diajukan pada November lalu.

Kendati demikian, Manuel menegaskan 24 gugatan baru akan disatukan dalam sidang yang sama dengan gugatan yang diajukan oleh keluarga Rio.

Sidang pertama dari 25 penggugat akan digelar di Circuit Court of Cook County, Illinois, Amerika Serikat, 17 Januari 2019.

"Kalau persidangan di Amerika Serikat itu fleksibel. Masih bisa memodifikasi komplain dari penggugat sekaligus menambah jumlah penggugat," kata Manuel di Hotel Ritz-Carlton, Jakarta Selatan, Rabu (12/12/2018).

Manuel mengatakan, pihaknya akan memperjuangkan hak keluarga korban untuk mendapatkan uang ganti rugi dari perusahaan Boeing senilai 100 juta dollar AS, sehingga masing-masing keluarga akan mendapatkan uang senilai 400.000 dollar AS.

Selain menuntut ganti rugi dari perusahaan Boeing, pengajuan gugatan di Pengadilan Amerika Serikat juga bertujuan untuk mengetahui penyebab jatuhnya pesawat. 

Investigasi yang dilakukan pengadilan itu tidak akan terpengaruh dari hasil investigasi yang dilakukan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT).

5. Tuntutan Pencarian Korban Tahap Dua

Sejumlahkeluarga korban jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 menggelar aksi damai di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (13/12/2018) sore.

Dalam aksi tersebut, para keluarga korban meminta pemerintah melakukan pencarian ulang terhadap 64 jasad korban yang belum juga ditemukan.

"Jadi kami minta Presiden dan segenap jajaran lakukanlah pertolongan yang lebih nyata. Bapak (Jokowi) ini kan pemimpin tertinggi di Indonesia," ujar Salah satu keluarga korban, Johan Herry Saroinsong.

Selain itu, para keluarga korban juga mendesak Lion Air agar memenuhi janjinya soal pembiayaan pencarian tahap kedua dengan menggunakan kapal dan peralatan canggih sebagaimana kesepakatan dengan keluarga korban pada 23 November 2018 lalu.

Merespon tuntutan itu, pihak Lion Air mendatangkan kapal laut MPV Everest milik perusahaan asal Belanda untuk melakukan pencarian kembali.

"Kapal ini memiliki teknologi caggih yang diharapkan mampu menemukan penumpang, kru pesawat, maupun kotak hitam yakni alat perekam suara di ruang kemudi pilot," ujarnya seperti dilansri Kontan.co.id, Senin (17/12/2018).

Sementara untuk menghadirkan kapal ini, lanjut Danang Lion Air Group mengalokasikan dana sebesar Rp 38 miliar. "Dananya dari kas internal yang digunakan untuk pengadaan kapal serta untuk aktivitas pendukung lainnya," tuturnya.

Adapun kapal ini nantinya akan difokuskan untuk pencarian di area koordinat jatuhnya penerbangan JT-610 dengan waktu operasional 10 hari berturut-turut.

"Kapal ini sudah diberangkatkan hanya saja saat ini mengalami keterlambatan karena cuaca buruk dan hujan deras di Johor Bahru Malaysia sehingga kapal ini diperkirakan akan tiba di Karawang pada (19/12/2018)," ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com