3. Normalisasi Kebijakan AS
Faktor eksternal pun disebut menjadi faktor utama terpuruknya rupiah terhadap dollar AS tahun ini. Normalisasi kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh bank sentral AS Federal Reserve serta pemerintahan Presiden Donald Trump melalui peningkatan suku bunga secara agresif ditambah normalisasi kebijakan fiskal mendorong peningkatan imbal hasil dan kembalinya aliran modal yang sempat mengalir ke pasar negara berkembang ke AS.
Hal tersebut membuat dollar AS semakin menguat dan memunculkan fenomena strong dollar.
Kepala Pusat kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Adriyanto menjelaskan, pada krisis ekonomi tahun 2008 lalu, pertumbuhan ekonomi AS mencapai minus 2,8 persen terhadap PDB, bank sentral setempat pun terus menurunkan suku bunga hinggal 0 persen untuk meningkatkan daya beli masyarakat.
"Dan itu cukup efektif. Mulai tahun 2010, pertumbuhan ekonomi AS mulai naik," jelas Adriyanto.
Seiring dengan perbaikan ekonomi AS yang sempat terpuruk akibat krisis tahun 2009, bank sentral AS pun mulai menaikkan suku bunga secara bertahap.
Selain normalisasi kebijakan ekonomi AS, faktor eksternal lain adalah kondisi ekonomi dunia yang sedang dilanda ketidakpastian lantaran perang tarif pemerintahan Trump terhadap beberapa negara sekutu perdagangannya. Perang dagang terbesar terjadi antara AS dengan China.
Kedua negara saling balas menaikkan tarif masuk produk unggulan masing-masing negara hingga akhirnya memutuskan untuk melakukan gencatan tarif pada KTT G20 pada akhir November lalu.
Ketika rupiah menembus level Rp 15.000 per dollar AS, Menteri Koordinator Bidang perekonomian Darmin Nasution menjelaskan, perang dagang yang terjadi antara Amerika Serikat dan China berimbas pada ketidak stabilan ekonomi global. Dirinya pun meragukan AS dan China bisa kembali rujuk pada kuartal I 2019 mendatang seperti yang diprediksi oleh pasar.
4. Defisit Transaksi Berjalan Membengkak
Meskipun banyak pihak menyatakan pergerakan rupiah terhadap dollar AS sepanjang tahun ini lebih disebabkan faktor eksternal, bukan berarti kondisi fundamental Indonesia yang dianggap kuat sudah cukup baik.
Faktanya, neraca perdagangan dalam negeri sepanjang tahun terus mengalami defisit dan hanya surplus sebanyak tiga kali, yaitu pada Maret 2018 sebesar 1,1 miliar dollar AS, Juni sebesar 1,74 miliar dollar AS, dan di September 2018 sejumlah 0,23 miliar dollar AS.
Teranyar, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan neraca perdagangan anjlok cukup dalam dari 1,77 miliar dollar AS di Oktober 2018 menjadi 2,05 miliar dollar AS di November 2018.
Neraca perdagangan yang terus defisit pun mendorong neraca berjalan (current account) yang merupakan neraca barang dan jasa juga mengalami defisit yang cukup dalam. Data terakhir bank sentral, hingga kuartal III 2018, defisit transaksi berjalan sebesar 3,37 persen atau setara dengan 8,85 miliar dollar AS, yang terdalam selama tahun 2018.
BI pun memrediksi hingga akhir tahun nanti, dengan neraca perdagangan yang jeblok, defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) pun akan berada di kisaran 3 persen, dari yang tadinya bisa di bawah 3 persen.
"Jangan terlalu kaget kalau kuartal IV (CAD) bisa sedikit di atas 3 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto)," ujar Gubernur BI Perry Warjiyo.
Selain itu, Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara pun mewanti-wanti agar tidak terlalu terlena dengan tren penguatan rupiah belakangan lantaran masalah CAD yang masih membayang-bayangi kondisi ekonomi Indonesia saat ini.
Ditegaskannya, Indonesia harus tetap fokus menyelesaikan persoalan defisit transaksi berjalan.
“Tetap saja harus menyelasaikan persoalan CAD. Harus terus mendorong peningkatan ekspor, pariwisata, terus bisa mengendalikan impor yang tidak perlu,” papar Mirza.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.