Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kaleidoskop 2018: Gejolak Rupiah, Faktor Eksternal atau Fundamental?

Kompas.com - 26/12/2018, 16:00 WIB
Mutia Fauzia,
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pergerakan rupiah sepanjang tahun 2018 cukup membuat waswas. Tren rupiah yang terus melemah terhadap dollar AS pun menyebabkan perdebatan dalam sektor ekonomi hingga menyeret ke ranah politik.

Banyak pihak yang keudian membanding-bandingkan terdepresiasinya mata uang Garuda terhadap dollar AS di tahun ini dengan kondisi tahun 1998.

Tak heran, sebab, di awal tahun, rupiah masih bergerak di bawah Rp 13.500 per dollar AS, hingga kemudian merangkak menembus Rp 14.000 pada Mei 2018.

Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), rupiah sempat menguat hingga Rp 13.290 per dollar AS di bulan Januari, namun ternyata level tersebut tak bertahan lama. Sebab, di akhir Februari, rupiah terus bergerak ke arah Rp 13.500 hingga Rp 13.700 per dollar AS.

Berikut ini adalah sejumlah fakta mengenai gejolak nilai tukar rupiah yang dirangkum dalam Kaleidoskop 2018.


1. Tak Seperti 1998

Meskipun level depresiasi rupiah mendekati level depresiasi tahun 1998, namun banyak pihak yang menyangkal jika fundamental ekonomi dalam negeri lebih buruk dari tahun 1998. Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk David Sumual menjelaskan, depresiasi rupiah kali ini berbeda lantaran kala itu, rupiah anjlok hingga 80 persen dari Rp 2.500.

"Pelemahan rupiah tahun ini dibandingkan 1998 yang anjloknya 80 persen dari Rp 2.500 secara tiba-tiba ya sangat jauh ya. Selain itu, waktu itu juga tidak ada kenaikan gaji sehingga daya beli masyarakat menurun dan harga-harga melonjak tinggi," jelas David.

Selain itu, VP Economist PT Bank Permata Tbk Josua Pardede juga menegaskan kondisi fundamental Indonesia pun sangat berbeda dengan 20 tahun lalu. Kala itu, krisis di Indoensia diawali krisis mata uang bath Thailand.

Kondisi diperburuk dengan pengelolaan utang luar negeri swasta yang tidak hati-hati lantaran sebagian utang tersebut tidak mendapatkan lindung nilai.

Berbeda dengan saat ini, di mana Bank Indonesia (BI) cenderung berhati-hati dan telah mewajibkan transaksi lindung nilai bagi korporasi dalam rangka mengelola risiko nilai tukar.


2. Sempat Tembus Rp 15.200 per Dollar AS

Rupiah yang menembus level psikologis Rp 14.000 per dollar AS di bulan Mei 2018 ternyata tak berhenti bergejolak. Hingga puncaknya, di bulan Oktober, rupiah terdepresiasi cukup dalam hingga level Rp 15.000-Rp 15.200 per dollar AS.

Beberapa ekonom menyatakan, level tersebut terlemah sejak 20 tahun lalu atau 1998. Padahal, terhitung sejak bulan Mei 2018 hingga Oktober 2018, BI telah menaikkan suku bunga BI 7 Days Reverse Repo Rate (BI7DRRR) sebanyak lima kali atau 150 bps.

Hingga di bulan November 2018, rupiah mulai menguat ke level Rp 14.972 per dollar AS. Adapun pada hari ini, Rabu (26/12/2018) rupiah berada di posisi Rp 14.602 per dollar AS


3. Normalisasi Kebijakan AS

Faktor eksternal pun disebut menjadi faktor utama terpuruknya rupiah terhadap dollar AS tahun ini. Normalisasi kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh bank sentral AS Federal Reserve serta pemerintahan Presiden Donald Trump melalui peningkatan suku bunga secara agresif ditambah normalisasi kebijakan fiskal mendorong peningkatan imbal hasil dan kembalinya aliran modal yang sempat mengalir ke pasar negara berkembang ke AS.

Hal tersebut membuat dollar AS semakin menguat dan memunculkan fenomena strong dollar.

Kepala Pusat kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Adriyanto menjelaskan, pada krisis ekonomi tahun 2008 lalu, pertumbuhan ekonomi AS mencapai minus 2,8 persen terhadap PDB, bank sentral setempat pun terus menurunkan suku bunga hinggal 0 persen untuk meningkatkan daya beli masyarakat.

"Dan itu cukup efektif. Mulai tahun 2010, pertumbuhan ekonomi AS mulai naik," jelas Adriyanto.

Seiring dengan perbaikan ekonomi AS yang sempat terpuruk akibat krisis tahun 2009, bank sentral AS pun mulai menaikkan suku bunga secara bertahap.

Selain normalisasi kebijakan ekonomi AS, faktor eksternal lain adalah kondisi ekonomi dunia yang sedang dilanda ketidakpastian lantaran perang tarif pemerintahan Trump terhadap beberapa negara sekutu perdagangannya. Perang dagang terbesar terjadi antara AS dengan China.

Kedua negara saling balas menaikkan tarif masuk produk unggulan masing-masing negara hingga akhirnya memutuskan untuk melakukan gencatan tarif pada KTT G20 pada akhir November lalu.

Ketika rupiah menembus level Rp 15.000 per dollar AS, Menteri Koordinator Bidang perekonomian Darmin Nasution menjelaskan, perang dagang yang terjadi antara Amerika Serikat dan China berimbas pada ketidak stabilan ekonomi global. Dirinya pun meragukan AS dan China bisa kembali rujuk pada kuartal I 2019 mendatang seperti yang diprediksi oleh pasar.


4. Defisit Transaksi Berjalan Membengkak

Meskipun banyak pihak menyatakan pergerakan rupiah terhadap dollar AS sepanjang tahun ini lebih disebabkan faktor eksternal, bukan berarti kondisi fundamental Indonesia yang dianggap kuat sudah cukup baik.

Faktanya, neraca perdagangan dalam negeri sepanjang tahun terus mengalami defisit dan hanya surplus sebanyak tiga kali, yaitu pada Maret 2018 sebesar 1,1 miliar dollar AS, Juni sebesar 1,74 miliar dollar AS, dan di September 2018 sejumlah 0,23 miliar dollar AS.

Teranyar, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan neraca perdagangan anjlok cukup dalam dari 1,77 miliar dollar AS di Oktober 2018 menjadi 2,05 miliar dollar AS di November 2018.

Neraca perdagangan yang terus defisit pun mendorong neraca berjalan (current account) yang merupakan neraca barang dan jasa juga mengalami defisit yang cukup dalam. Data terakhir bank sentral, hingga kuartal III 2018, defisit transaksi berjalan sebesar 3,37 persen atau setara dengan 8,85 miliar dollar AS, yang terdalam selama tahun 2018.

BI pun memrediksi hingga akhir tahun nanti, dengan neraca perdagangan yang jeblok, defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) pun akan berada di kisaran 3 persen, dari yang tadinya bisa di bawah 3 persen.

"Jangan terlalu kaget kalau kuartal IV (CAD) bisa sedikit di atas 3 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto)," ujar Gubernur BI Perry Warjiyo.

Selain itu, Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara pun mewanti-wanti agar tidak terlalu terlena dengan tren penguatan rupiah belakangan lantaran masalah CAD yang masih membayang-bayangi kondisi ekonomi Indonesia saat ini.

Ditegaskannya, Indonesia harus tetap fokus menyelesaikan persoalan defisit transaksi berjalan.

“Tetap saja harus menyelasaikan persoalan CAD. Harus terus mendorong peningkatan ekspor, pariwisata, terus bisa mengendalikan impor yang tidak perlu,” papar Mirza.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com