Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lulusan Banyak yang Menganggur, Apa Salah SMK Kita?

Kompas.com - 15/01/2019, 06:06 WIB
Yoga Sukmana,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com — Lulusan sekolah menengah kejuaran (SMK) menjadi penyumbang tertinggi pengangguran terbuka di Indonesia.

Hal ini bertolak belakang dengan rencana awal menjadikan lulusan SMK sebagai lulusan yang langsung bisa diserap oleh dunia usaha.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, dari 7 juta pengangguran terbuka per Agustus 2018, 11,24 persennya merupakan lulusan SMK.

Persentase itu lebih tinggi dari pengangguran terbuka lulusan SMA 7,95 persen, lulusan SD 2,43 persen, sedangkan untuk lulusan SMP yang menganggur ada sebanyak 4,8 persen.

Baca juga: Lulusan SMK Penyumbang Penggangguran Tertinggi, Ini Kata Menaker

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brojonegoro mengatakan, fakta itu menunjukkan hal yang ironis. Sebab, awalnya lulusan SMK justru diharapkan bisa langsung terserap oleh industri setelah lulus.

"Ini sangat ironis," ujarnya dalam acara seminar di Hotel Sahid, Jakarta, Senin (14/1/2019).

Sementara Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Hanif Dhakiri menyebut adanya kecenderungan penurunan kontribusi lulusan SMK kepada tingkat pengangguran. Hal itu ia sampaikan dalam acara diskusi di Kantor Bappenas, Jakarta, Kamis (8/11/2018).

Pada 2015, persentase lulusan SMK yang menganggur 12,65 persen; pada 2016 turun jadi 11,11 persen; 2017 naik 11,41 persen; dan 2018 jadi 11,24 persen.

Meski demikian, keduanya mengakui, secara umum masih banyak persoalan yang dihadapi oleh setiap lulusan jenjang pendidikan, termasuk lulusan SMK untuk masuk ke dunia kerja.

Bongkar masalah

Menteri Bambang menilai ada hal yang salah dari SMK di Indonesia. Gambaran besarnya, SMK yang ada tidak sesuai dengan kebutuhan pasar atau kebutuhan dunia usaha sehingga lulusannya jadi tak terserap.

Bila ditelaah lebih dalam, Bambang menyoroti beberapa hal. Pertama soal kurikulum. Ia mengatakan, kurikulum SMK teramat sulit untuk diubah.

Akibatnya, saat tantangan atau kebutuhannya zaman berubah, kurikulum di SMK tak berubah. Bambang menilai hal itu terjadi akibat adanya ego sektoral.

"Harus saya akui kadang mereka mengatakan tidak mudah mengubah kurikulum. Akibatnya kita selalu terlambat. Begitu terlambat, kita menciptakan pengangguran terdidik. Seperti kasus lulusan SMK tadi," kata dia.

Baca juga: Ini 5 Provinsi dengan Persentase Tingkat Pengangguran Terbesar

Kedua, Bambang menyoroti banyaknya SMK di Indonesia milik swasta, tetapi kapasitasnya kecil. Yayasan pengelola SMK tidak punya kapasitas untuk pengembangan guru, apalagi pengembangan kurikulum yang melibatkan perusahaan.

Akibatnya, SMK lebih banyak mencetak lulusan, bukan mencetak tenaga kerja.

Ketiga, persolan guru. Bambang mendapatkan informasi dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bahwa tak banyak guru produktif atau guru yang ahli sesuai bidang kejuruan di SMK tersebut.

"Persentasenya sama bahkan kalah dengan guru normatif. Guru normatif itu guru agama, guru bahasa, guru untuk pelajaran yang bukan inti dari SMK itu," kata dia.

Untuk mengurai satu per satu akar masalah itu, pemerintah pusat  bersama Pemda kata Bambang, sudah memulai melakukan terobosan.  Di antaranya mendirikan SMK-SMK percontohan di beberapa daerah.

SMK percontohan fokus kepada kebutuhan tenaga kerja di daerah tersebut.  Misalnya SMK yang fokus ke industri furniture lantaran daerahnya memiliki keunggulan di bidang usaha furniture.

Sementara terkait dengan keterbatasan guru produksi, pemerintah akan menarik lebih banyak tenaga ahli di bidangnya untuk mengajar atau menjadi instruktur di SMK.

"Banyak orang yang tidak hanya pensiunan, tetapi orang yang sudah bekerja di bidangnya tetapi mau jadi instruktur," kata dia.

Vokasional training

Menteri Hanif melihat pentingnya memperbaiki akses dan mutu vokasional training bagi siswa SMK. Ketiga hal itu yakni kualitas, kuantitas dan persebaran yang merata.

Dari sisi kualitas, Hanif menilai lulusan SMK maupun SDM Indonesia pada umumnya memiliki hal itu. Buktinya kata dia, para pelajar Indonesia kerap berjaya di berbagai ajang olimpiade pendidikan.

Justru kata Hanif, persoalan ada pada kuantitas. SDM yang memiliki kualitas jempolan masih terbatas. Selain itu persebaranya juga hanya terpusat dibeberapa kota

Oleh karena itu, vokasional training harus diperbanyak dan tersebar di berbagai daerah. Hal ini juga penting sembari menunggu perbaikan di SMK.

Baca juga: BPS: Jumlah Pengangguran Berkurang 40.000 Orang

"Kalau ketiga ini tidak sama maka akan terjadi ketimpangan dan problem investasi. Misal investor masuk ke Sukabumi membutuhkan 100 orang yang memiliki standar internasional. Apa akan ketemu? Saya jamin ketemu tetapi mungkin 1, 2 atau 3 orang saja," ucapnya.

Menurut dia, peningkatan mutu vokasional training bagi siswa SMK sangat penting untuk memperbaiki profil ketenagakerjaan di Indoensia.

Saat ini dari 131 juta angkatan kerja pada 2018, sekitar 58 persennya merupakan lulusan sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP).

Sementara itu, rata-rata masyarakat Indonesia yang mengecap pendidikan nasional hanya 8,8 tahun.

"Jadi masih ada pekerjaan kita untuk meningkatkan partisipasi pendidikan formal," kata dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Survei Prudential: 68 Persen Warga RI Pertimbangkan Proteksi dari Risiko Kesehatan

Survei Prudential: 68 Persen Warga RI Pertimbangkan Proteksi dari Risiko Kesehatan

Earn Smart
7 Contoh Kebijakan Fiskal di Indonesia, dari Subsidi hingga Pajak

7 Contoh Kebijakan Fiskal di Indonesia, dari Subsidi hingga Pajak

Whats New
'Regulatory Sandbox' Jadi Ruang untuk Perkembangan Industri Kripto

"Regulatory Sandbox" Jadi Ruang untuk Perkembangan Industri Kripto

Whats New
IHSG Melemah 0,83 Persen dalam Sepekan, Kapitalisasi Pasar Susut

IHSG Melemah 0,83 Persen dalam Sepekan, Kapitalisasi Pasar Susut

Whats New
Nasabah Bank DKI Bisa Tarik Tunai Tanpa Kartu di Seluruh ATM BRI

Nasabah Bank DKI Bisa Tarik Tunai Tanpa Kartu di Seluruh ATM BRI

Whats New
Genjot Layanan Kesehatan, Grup Siloam Tingkatkan Digitalisasi

Genjot Layanan Kesehatan, Grup Siloam Tingkatkan Digitalisasi

Whats New
Pelita Air Siapkan 273.000 Kursi Selama Periode Angkutan Lebaran 2024

Pelita Air Siapkan 273.000 Kursi Selama Periode Angkutan Lebaran 2024

Whats New
Puji Gebrakan Mentan Amran, Perpadi: Penambahan Alokasi Pupuk Prestasi Luar Biasa

Puji Gebrakan Mentan Amran, Perpadi: Penambahan Alokasi Pupuk Prestasi Luar Biasa

Whats New
Pengertian Kebijakan Fiskal, Instrumen, Fungsi, Tujuan, dan Contohnya

Pengertian Kebijakan Fiskal, Instrumen, Fungsi, Tujuan, dan Contohnya

Whats New
Ekspor CPO Naik 14,63 Persen pada Januari 2024, Tertinggi ke Uni Eropa

Ekspor CPO Naik 14,63 Persen pada Januari 2024, Tertinggi ke Uni Eropa

Whats New
Tebar Sukacita di Bulan Ramadhan, Sido Muncul Beri Santunan untuk 1.000 Anak Yatim di Jakarta

Tebar Sukacita di Bulan Ramadhan, Sido Muncul Beri Santunan untuk 1.000 Anak Yatim di Jakarta

BrandzView
Chandra Asri Bukukan Pendapatan Bersih 2,15 Miliar Dollar AS pada 2023

Chandra Asri Bukukan Pendapatan Bersih 2,15 Miliar Dollar AS pada 2023

Whats New
Tinjau Panen Raya, Mentan Pastikan Pemerintah Kawal Stok Pangan Nasional

Tinjau Panen Raya, Mentan Pastikan Pemerintah Kawal Stok Pangan Nasional

Whats New
Kenaikan Tarif Dinilai Jadi Pemicu Setoran Cukai Rokok Lesu

Kenaikan Tarif Dinilai Jadi Pemicu Setoran Cukai Rokok Lesu

Whats New
Puasa Itu Berhemat atau Boros?

Puasa Itu Berhemat atau Boros?

Spend Smart
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com