Jelas sudah. Impor beras yang selama ini dilakukan pemerintah tidak hanya bertolak belakang dengan Undang-Undang Pangan, tetapi juga merugikan para petani. Bahkan, secara kasat mata pemerintah telah mengangkangi Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Di dalam UU No 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dalam Pasal 15 dijelaskan, “Pemerintah berkewajiban mengutamakan produksi Pertanian dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional”. Bahkan di Pasal 30 secara nyata tertulis, “Setiap Orang dilarang mengimpor Komoditas Pertanian pada saat ketersediaan Komoditas Pertanian dalam negeri sudah mencukupi kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan pangan Pemerintah”.
Persoalan pangan di Indonesia saat ini ternyata bukan hanya masalah impor semata, tetapi juga masalah diversifikasi (penganekaragaman) pangan. Pemerintah seakan tidak memiliki strategi induk (grand strategy) yang utuh di sini. Kebijakan yang ada justru saling bertolak belakang dan saling melemahkan.
Beberapa contoh kasus di antaranya adalah kebijakan produksi beras dengan kebijakan produksi umbi-umbian, kebijakan diversifikasi konsumsi pangan dengan kebijakan impor beras, maupun kebijakan pengembangan pangan lokal dengan kebijakan impor terigu. Pemandangan tersebut membuktikan bahwa paradoks kebijakan pangan terjadi di pemerintahan saat ini.
Fakta lain yang membuktikan pemerintah kurang serius dalam mengelola persoalan pangan adalah belum terbentuknya Kelembagaan Pangan hingga saat ini.
Padahal, Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan, Pasal 126 mengamanatkan untuk membentuk lembaga Pemerintah yang menangani bidang Pangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Di mana, peraturan pelaksanaannya harus ditetapkan paling lambat tiga tahun sejak Undang- undang ini diundangkan, yaitu November 2015.
Namun, hingga saat ini kelembagaan pangan yang dimaksud belum juga terealisasi. Presiden dan perangkatnya di pemerintahan terkesan lambat dalam membentuk lembaga pangan. Padahal tugas, pokok dan fungsi lembaga ini sangat diperlukan demi kelangsungan pangan di Tanah Air.
Pemerintah juga hingga saat ini tidak kunjung menyediakan pulau karantina yang bertujuan menjaga kesehatan hewan ternak. Padahal, wacana pulau karantina sudah menjadi rekomendasi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang harus terealisasi paling lambat dua tahun sejak diundangkan.
Kementerian Pertanian sejauh ini merasa sudah siap dengan wacana pulau karantina. Namun, Peraturan Pemerintah yang mengatur syarat dan tata cara/kriteria penetapan suatu pulau menjadi pulau karantina belum juga selesai. Mengingat, dalam mewujudkan pulau karantina perlu melibatkan banyak instansi seperti Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan, Kementerian Perhubungan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Dari sederet uraian persoalan pangan di atas, ada satu hal yang sangat menggelikan. Yakni, terus berlangsungnya impor garam. Padahal, Indonesia memiliki garis pantai terpanjang dan juga merupakan negara kepulauan. Cita-cita tercapainya swasembada garam semakin jauh panggang dari api.
Yang tak habis pikir, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman justru bertentangan dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam.
Dalam pasal 37 Ayat (3) UU No 7/2016 jelas disebutkan, “Dalam hal impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman, menteri terkait harus mendapatkan rekomendasi dari Menteri.”
Aturan ini menempatkan Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai kementerian teknis yang berwenang memberikan rekomendasi impor garam. Namun, dalam PP Impor Garam Pasal 3 Ayat (2) tentang mekanisme pengendalian menyatakan, Kementerian Perinindustrian disebut yang berwenang memberikan rekomendasi.
Bayangkan, PP yang seharusnya dijalankan pemerintah atas dasar UU, justru malah bertentangan bahkan bertabrakan dengan UU.