Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penjelasan BPN Prabowo-Sandi soal Target Rasio Pajak 16 Persen

Kompas.com - 18/01/2019, 17:30 WIB
Palupi Annisa Auliani,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com—Dalam paparan debat perdana Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, Kamis (17/1/2019) malam, salah satu yang disebut oleh calon presiden (capres) Prabowo Subianto adalah soal target rasio pajak (tax ratio) bila dia memenangi kontestasi politik nasional.

Di situ, Prabowo menyebut mematok target rasio pajak 16 persen. Banyak kalangan mengritisi target ini, baik dari angka maupun cara mewujudkannya.

Dewan Pakar Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Dradjad H Wibowo, memberikan tanggapan atas sejumlah kritik tersebut.

Menurut Dradjad, Presiden Joko Widodo (Jokowi)—yang juga capres untuk Pilpres 2019—melalui Nawacita—program kerja pemerintahan saat ini—pernah menargetkan rasio pajak 16 persen pada 2019.

Baca juga: Prabowo Mau Naikkan Tax Ratio, tapi Potong Tarif Pajak, Apakah Bisa?

"Faktanya, rasio pajak dalam arti sempit, yaitu yang dicapai oleh Ditjen Pajak (DJP), hanya sekitar 8,4 persen pada 2017," kata Dradjad, Jumat (18/1/2019).

Adapun rasio pajak dalam arti luas, lanjut dia, capaian kinerja pada akhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah 13,7 persen pada 2014.

"Di masa pak Jokowi angkanya justru anjlok terus, menjadi 11,6 persen (2015), 10,8 persen (2016), dan 10,7 persen (2017). Untuk 2018 dan 2019 targetnya adalah 11,6 persen dan 12,1 persen. Kita masih menunggu realisasi 2018 setelah audit," papar Dradjad.

Kurva Laffer

Nah, ujar Dradjad, sekarang Prabowo menggunakan angka yang sama yang pernah dijanjikan pemerintahan Jokowi untuk rasio pajak itu.

"Sekarang mas Bowo (Prabowo) menargetkan 16 persen juga, untuk rasio pajak dalam arti luas, dalam waktu 5 tahun, sama dengan pak Jokowi. Apa strateginya agar Prabowo tidak mengulangi kegagalan sebelumnya?" ungkap Dradjad sembari melontarkan pertanyaan retoris.

Dradjad mengakui, menaikkan rasio pajak itu adalah pekerjaan yang teramat sangat berat. Hal ini tidak lain dan tidak bukan karena basis pajak Indonesia yang masih relatif rendah, termasuk soal kesadaran dan kepatuhan pajak yang rendah. 

"Oleh sebab itu, kita harus berani mengambil langkah terobosan dalam menaikkan basis pajak. Langkah pertama yang ditempuh adalah memanfaatkan Kurva Laffer," ujar Dradjad.

Dradjad menjelaskan, kurva tersebut diperkenalkan Arthur B Laffer, ekonom Amerika Serikat yang pernah menjadi anggota Economic Policy Advisory Board di era Presiden Ronald Reagan. Laffer sebut Dradjad, mengakui kurva ini mengambil gagasan dan observasi dari Ibnu Khaldun.

"Inti dari observasi Ibnu Khaldun itu adalah bahwa pada awal dinasti diperoleh penerimaan perpajakan yang besar dari penilaian atau tarif yang rendah. Pada akhir dinasti, penerimaan perpajakannya rendah, berasal dari tarif yang tinggi," papar Dradjad. 

Dalam kurva Laffer ucap dia, penerimaan perpajakan adalah 0 pada saat tarif 0 persen, lalu naik menuju penerimaan pajak maksimum pada tarif optimal tertentu, kemudian turun lagi menuju 0 pada tarif 100 persen.

"Berapa tarif yang optimal? Setiap negara tentu berbeda-beda, bahkan bisa berbeda antar-periode di dalam satu negara," ujar Dradjad.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Whats New
Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Whats New
Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Whats New
Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Whats New
Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Whats New
Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Whats New
Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Work Smart
Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Whats New
Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Whats New
Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Whats New
Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Whats New
Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Whats New
KA Argo Bromo Anggrek Pakai Kereta Eksekutif New Generation per 29 Maret

KA Argo Bromo Anggrek Pakai Kereta Eksekutif New Generation per 29 Maret

Whats New
Mudik Lebaran 2024, Bocoran BPJT: Ada Diskon Tarif Tol Maksimal 20 Persen

Mudik Lebaran 2024, Bocoran BPJT: Ada Diskon Tarif Tol Maksimal 20 Persen

Whats New
Jumlah Investor Kripto RI Capai 19 Juta, Pasar Kripto Nasional Dinilai Semakin Matang

Jumlah Investor Kripto RI Capai 19 Juta, Pasar Kripto Nasional Dinilai Semakin Matang

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com