Saya selalu tertarik melihat cuplikan-cuplikan film Amerika saat fragmen menayangkan seseorang bersaksi di ruang pengadilan.
Bukan event-nya yang menarik, tetapi bagaimana kesaksian dimulai, dan lalu kita mendengar seorang saksi mengucapkan sumpahnya …”the truth, the whole truth, and nothing but the truth”.
Hmm, …whose truth? Yours, mine or theirs?
Kata ‘truth’ sampai diucapkan tiga kali dalam satu kalimat yang mengkonformasi begitu pentingnya kata itu dalam makna dan interpretasinya.
Truth – atau kebenaran – seolah menjadi kunci gembok untuk mengikat seseorang agar hanya selalu berkata benar dan jujur.
Well, saya tak punya masalah dengan hal ini sampai beberapa menit lalu, hingga entah dewa petir mana menghantam kepala saya untuk memutar kembali diskursus-diskursus selama beberapa tahun terakhir di negeri ini dalam balutan post-truth.
Dan saya mencoba mengurainya sedikit demi sedikit. Ceritanya begini…
Mukijo, sebut saja begitu namanya, mendadak ingin iseng pagi itu. Saat menghampiri teman-teman sepenganggurannya di sebuah warung kopi, ia mengatakan bahwa dua orang bule terlihat membawa-bawa peralatan lengkap sedang menyusuri sungai di pinggir dusun mereka.
Dengan menampakkan wajah yang meyakinkan, Mukijo mengatakan bahwa dua orang bule itu sedang meneliti bagian sungai di dusun karena telah ditemukan butiran-butiran emas minggu lalu di sana. Mungkin dusun mereka kaya akan butiran emas, dan sebuah perusahaan tambang asing sedang melakukan observasi.
Saat Mukijo mengakhiri bicaranya, tak ada satu pun temannya yang menanggapi. Mereka tampak mendengarkan, tapi rasa-rasanya tak begitu tertarik mengomentari.
Tak lama kemudian kerumunan di warung kopi di pagi itu bubar, seolah tak terjadi apapun.
Sore harinya Mukijo terheran-heran, warung kopi sepi, bahkan sang penjual pun tak ada. Tak ada dagangannya pula.
Seorang tetangganya lewat, dan Mukijo ditanya mengapa tak ikut pergi ke sungai untuk mencari butiran-butiran emas.
Banyak penduduk kampung berbondong-bondong ke sana membawa tampah bambu dan saringan.
Mukijo terkesima, terkejut, tapi dalam hati tertawa ngakak…..(“betapa anehnya penduduk dusun di sini” – begitu gumamnya). Sore berlalu. Senyum Mukijo semakin lebar.
Paginya dusun benar-benar sepi. Ternyata hampir semua penduduk sibuk mencari butiran-butiran emas di sungai.
Saat Mukijo ke sana, sesekali terdengar suara riuh tepukan tangan, atau sorakan orang-orang tanda suka cita. Dari kejauhan Mukijo hanya terpana….lalu mulai berpikir, “jangan-jangan memang ada butiran emas di sungai. Aku harus bergegas ikut ke sana!”.
Dan Mukijo pun turun ke sungai. Tak jauh dari situ dua bule yang ternyata hanya turis biasa heran kenapa orang-orang dusun mendadak berkerumun di sungai.
Seorang turis berkata kepada turis lainnya, “We are so lucky! We come here just right in the midst of cultural festivity!”
Dengan kamera mereka, beberapa jepretan terdengar di tengah riuhnya penduduk yang terhipnotis rumor tentang emas di sungai.
Memperdebatkan soal bagaimana mungkin penduduk satu dusun dapat terbius oleh keisengan Mukijo tak serumit menjelajahi pikiran Mukijo bagaimana ia bisa terhipnotis oleh tipuannya sendiri.