Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Moch S. Hendrowijono
Pengamat Telekomunikasi

Mantan wartawan Kompas yang mengikuti perkembangan dunia transportasi dan telekomunikasi.

Konsolidasi di Industri Seluler Dipermudah, Frekuensi Tidak Diambil

Kompas.com - 19/02/2019, 13:35 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KONSOLIDASI operator seluler, khususnya untuk lima operator teratas, sudah menjadi wacana dan didorong pemerintah sejak tahun 2015, namun tidak pernah terlaksana. Sejak tahun ini sudah terdengar kabar-kabar angin siapa akan mengakuisisi siapa, namun kendalanya hanya satu.

Menteri Kominfo Rudiantara menilai, lima operator untuk Indonesia yang penduduknya 260 juta terlalu banyak. China yang punya penduduk 1,3 miliar saja hanya punya tiga operator, dan mereka maju. Karenanya, untuk Indonesia lebih bagus kalau hanya ada tiga operator seluler, atau setidaknya empat.

Satu kendala, Undang-undang Telekomunikasi Tahun 1999 mengamanatkan, frekuensi itu milik negara. Akibatnya jika satu operator berhenti karena berbagai sebab, antara lain karena diakuisisi oleh pihak lain, frekuensinya harus dikembalikan kepada pemerintah.

Itu sebabnya kenapa Smart Telecom dan Bakrie tidak merger (gabung) atau akuisisi. Mereka hanya melakukan pemasaran bersama sambil menggabungkan frekuensi yang mereka miliki. Namun kasus PT Satelit Indonesia (Satelindo), diakuisisi penuh, bedol desa, oleh PT Indosat yang waktu itu hanya sebagai operator gerbang internasional 001.

Baca juga: CEO Indosat Yakin Bisa Imbangi Telkomsel Jika Merger

Gerbang internasional tidak punya basis pelanggan padahal akan go-public, bahkan go-international. Jalan terbaik, mereka harus beli operator seluler yang punya basis pelanggan, lalu mereka membeli Satelindo yang 60 persen sahamnya milik Keluarga Cendana. Pemerintah tidak mengambil sedikit pun frekuensi milik Satelindo.

Beda dengan ketika XL Axiata mengakuisisi Axis yang semula milik STC (Saudi Telecom), harus mengembalikan sebagian frekuensinya, 10 MHz di spektrum 2,1 GHz bekas milik Axis. XL masih untung mendapat 15 MHz di spektrum 1800 MHz yang saat itu cantik sekali untuk gelaran 4G LTE.

Frekuensi dibekukan

Ketika ada kabar angin Indosat berwacana mengakuisisi Hutchison Tri Indonesia (Tri), kabar itu menguap begitu saja. Satu anggota manajemen PT indosat menyebut, Tri menghargai dirinya sendiri terlalu mahal, Indosat pun mundur.

Kabar berikut, Indosat milik Qatar yang kaya raya berupaya mengambil alih XL yang milik kelompok Axiata dari Malaysia, menguap juga. Masalah utamanya, frekuensi yang harus dikembalikan ke pemerintah, sehingga bisa-bisa mereka membeli perusahaan kosong, padahal tujuan mengakuisisi operator lain berharap mengangkut juga frekuensinya.

Tidak hanya Indosat yang ingin mengakuisisi operator lain, juga XL Axiata, bahkan Smartfren, Telkomsel dan juga Tri. Kendalanya, soal kepemilikan frekuensi tadi.

Kini ada kabar baik, Kominfo akan segera meluncurkan Peraturan Menteri yang intinya, frekuensi tidak akan diambil pemerintah jika ada aksi korporasi satu operator mengakuisisi operator lain.

Ketika aksi korporasi terjadi, pemerintah akan melihat, apakah jumlah frekuensi hasil akuisisi itu cukup sesuai jumlah pelanggan keduanya, atau kurang, atau berlebih. Jika

berlebih maka pemerintah akan membekukan sebagian frekuensi yang berlebih itu, menyimpannya selama lima tahun, sampai jumlah pelanggan operator pengakuisisi sepadan dengan jumlah lebar spektrum yang mereka miliki.

Jika saat itu terjadi, operator tadi boleh mengklaim frekuensi simpanannya tanpa lelang seperti halnya frekuensi Axis selebar 10 MHz yang dilelang pemerintah dan dimenangkan Indosat dan Tri. Memang tanpa lelang, namun mereka harus membayar BHP (biaya hak penggunaan) frekuensi dengan nilai pasar terakhir.

Melebihi Telkomsel

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com