KOMPASIANA---Semestinya dalam sebuah kompetisi itu ada kolaborasi yang berjalan beriringan. Bahkan, sudah lazim kita mendengar jika kini zamannya kolaborasi, bukan kompetisi.
Akan tetapi, biar bagaimanapun kompetisi merupakan sebuah naluri bawaan manusia, ingin merasa lebih baik dari oranglain.
Kompetisi akhirnya menjadi sebuah kebutuhan dasar manusia: hidup manjadi sebuah kompetisi yang mesti dimenangkan atau rela untuk dikalahkan.
Wajar saja dan kita bisa memaklumi itu, tho dulu ketika kita sekolah pun kita berkompetisi untuk menjadi yang terbaik di kelas agar mendapat rangking 1.
1. Hidup (Bukan) Sebuah Kompetisi
Kompasianer Seliara meletakan konteks sebuah kompetisi pada hal yang menarik: penerimaan mahasiswa lewat SBMPTN.
Menurutnya, ada hal berbeda akan dirasakan bagi yang tidak lulus bila dibandingkan dengan mereka yang lulus.
Pasti ada rasa sedih, kecewa dan mungkin merasa 'kurang beruntung' melihat keberhasilan mereka yang sudah mendapatkan kampus impian.
Memang kita sulit untuk menghilangkan kecemburuan dalam diri kita. Kompasianer Seliara sampai menuliskan kalau dibutuhkan lebih banyak refleksi diri.
"Kita hidup dalam budaya yang sangat kompetitif. Di awal kehidupan, secara langsung atau tidak, kita terbiasa berkompetisi dengan saudara kandung," lanjutnya. (Baca selengkapnya)
2. Kelana Rasa Rujak Cingur dan Warisan Budaya
Penganan bukan hanya soal pemuas rasa lapar dahaga, tapi bagi Kompasianer Suprihati makanan juga menuntaskan kelana rasa hingga warisan budaya bangsa.
Rujak cingur, misalnya, yang berkomponen khas petis adalah dari Jawa Timur khususnya Surabaya.
Seporsi rujak cingur bukan hanya masalah makanan. Terhisap di dalamnya identitas kebanggaan masyarakat. Rujak cingur diakui sebagai makanan rakyat.
"Rujak cingur bukan sekadar rasa nikmat khas Jawa Timur. Terkandung filosofi harmoni dan sejarah perjuangan panjang. Bagian dari warisan budaya bangsa," tulis Kompasianer Suprihati. (Baca selengkapnya)